Jabatan wakil menteri
di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru diterapkan oleh bangsa ini. Semenjak
awal zaman kemerdekaan Indonesia departemen luar negeri pernah memiliki wakil
menteri, meskipun ketika itu jabatan tersebut tidak bertahan lama. Tetapi kemudian
pascareformasi, muncul kembali jabatan wakil menteri tersebut yang terjadi
semenjak September 2008. Ketika itu menteri luar negeri yang dipimpin oleh
Hassan Wirajuda dibantu oleh seorang wamen yang dijabat oleh Triyono Wibowo.
Keberadaan Wamen ketika itu berdasarkan pada Peraturan
Presiden No. 20 dan 21 tahun 2008 yang mengakui keberadaan jabatan wakil
menteri.
Seiring perkembangannya, dalam meningkatkan kinerja eksekutif,
pemerintah saat ini ternyata membutuhkan wakil menteri atas pertimbangan dari Presiden
yang mana memiliki landasan hukum yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yakni “Dalam hal terdapat beban
kerja yang membutuhkan penanganan secara
khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan inilah pemerintah dapat mengangkat
wakil menteri atas pertimbangan dari Presiden.
Tetapi kemudian muncul gugatan terhadap pasal 10 UU No.
39 tahun 2008 tersebut yang mempertanyakan keberadaan jabatan wakil menteri di
pemerintahan. Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu telah memutuskan bahwa
gugatan tersebut telah dikabulkan sebagian. MK menilai bahwa keberadaan wakil
menteri masih tetap wilayah kekuasaan Presiden dan hal tersebut tidaklah
bertentangan dengan UUD 45. Namun yang
menjadi menarik disini adalah MK tidak mempermasalahkan bunyi dari pasal 10
undang-undang tersebut, tetapi memutuskan untuk mencabut penjelasan dari pasal
10 dan menyatakan penjelasan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
Penjelasan pasal 10 ini adalah “Yang dimaksud dengan
“Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet”.
Berdasarkan penjelasan ini maka MK telah memutuskan bahwa yang dikatakan
sebagai wakil menteri seharusnya bukanlah pejabat karir dan merupakan anggota
kabinet. Berarti disini MK telah memutuskan bahwa setidak-tidaknya wakil
menteri itu dapat merupakan suatu jabatan politik, merupakan anggota kabinet,
atau berbagai pengertian lain yang bukan berdasarkan penjelasan yang dinyatakan
di atas.
Pascaputusan MK NOMOR
79/PUU-IX/2011 ini maka timbul penafsiran bahwa keberadaan wakil menteri tetap
diakui dan dianggap tidak bertentangan dengan Konstitusi UUD 45. Tetapi yang
menjadi penegasan atas apa yang dimaksud dengan wakil menteri itu harus diubah
dan tidak boleh digunakan lagi atas penjelasan seperti itu. Maka tugas
pemerintah saat ini adalah merombak dan melakukan restrukturisasi dari jabatan
wakil menteri dan disesuaikan dengan apa yang dimaksud oleh putusan MK.
Keberadaan wakil menteri
saat ini harus kita pandang sebagai suatu alat untuk menjalankan tugas
pemerintah maka dari itu keberadaan wakil menteri ini haruslah kita dukung
selama hal itu masih sesuai dengan koridor yuridis dan manfaatnya.