Keberagaman umat
beragama di Indonesia merupakan suatu bentuk contoh keberagaman yang diakui
dunia. Setiap agama di Indonesia memiliki nilai toleransi tinggi dan menjunjung
nilai-nilai pancasila. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi kalimat yang
diagung-agungkan oleh bangsa ini untuk bersama membangun negeri dalam ragam
perbedaan. Tetapi kerukunan umat beragama yang selama ini terjalin sedikit
terecoki dengan kasus Sampang sebagai bentuk kekerasan dan main hakim sendiri.
Pertentangan dan perselisihan antara umat beragama kerap terjadi di beberapa
daerah. Kerugian baik materil maupun moril adalah hal yang lumrah didapat oleh
masyarakat yang sering mengalami konflik, bahkan korban jiwapun tidak luput
dari dampak kerugian tersebut.
Padahal pasal 1 ayat 3 UUD 45 telah menegaskan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Negara hukum (Rechsstaat) yang dianut oleh Indonesia bukanlah bentuk negara nachwachtersstaat (negara penjaga malam)
yang semata-mata hanya melindungi masyarakatnya dari gangguan keamanan dari
pihak luar saja melainkan Indonesia menganut bentuk Negara hukum welfare staat (Negara kesejahteraan)
yang ikut aktif dalam melakukan intervensi di masyarakat dalam bidang sosial,
politik, ekonomi, budaya dan agama. Hal itu dilakukan demi mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam salah satu konsep rechsstaat menurut Frederic Julius Stahl ciri yang paling utama
dalam Negara hukum adalah pengakuan HAM. Setiap Negara selayaknya memberikan
pengakuan dan perlindungan HAM bagi setiap masyarakatnya, termasuk kebebasan
berkeyakinan atau beragama yang merupakan bentuk HAM paling tinggi. Hal ini
sudah diatur dalam pasal 29 ayat 2 konstitusi UUD 45 bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Oleh
karena itu, jika kini kita melihat bangsa Indonesia tidak mampu lagi memberikan
rasa aman bagi setiap umat beragama maka disaat itulah Negara ini dapat
dinyatakan sebagai Negara hukum yang gagal. Tidak hanya karena tidak mampu
menjaga masyarakat dari timbulnya konflik antar umat beragama tetapi juga
karena tidak mampu menjamin adanya keberagaman dalam mengatur urusan agama di
masyarakat.
Maka seiring dengan tegasnya konstitusi UUD 45 dalam
memberikan aturan hukum mengenai tanggung jawab pemerintah terhadap keberagaman,
selayaknya kini pemerintah mulai membenahi permasalahan yang ada, konflik
antara muslim sunni dan muslim syiah di Sampang seharusnya dapat diselesaikan
dengan damai tanpa adanya konflik. Peran pemerintah disini sangatlah vital agar
tidak merusak citra damai Indonesia di mata internasional. Peran mediasi dan
diplomasi seyogianya yang lebih ditonjalkan. Publik tentu menunggu keterlibatan
pemerintah untuk menyelesaikannya segera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar