Jumat, 30 November 2012
Rabu, 12 September 2012
Negara Hukum yang Gagal
Keberagaman umat
beragama di Indonesia merupakan suatu bentuk contoh keberagaman yang diakui
dunia. Setiap agama di Indonesia memiliki nilai toleransi tinggi dan menjunjung
nilai-nilai pancasila. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi kalimat yang
diagung-agungkan oleh bangsa ini untuk bersama membangun negeri dalam ragam
perbedaan. Tetapi kerukunan umat beragama yang selama ini terjalin sedikit
terecoki dengan kasus Sampang sebagai bentuk kekerasan dan main hakim sendiri.
Pertentangan dan perselisihan antara umat beragama kerap terjadi di beberapa
daerah. Kerugian baik materil maupun moril adalah hal yang lumrah didapat oleh
masyarakat yang sering mengalami konflik, bahkan korban jiwapun tidak luput
dari dampak kerugian tersebut.
Padahal pasal 1 ayat 3 UUD 45 telah menegaskan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Negara hukum (Rechsstaat) yang dianut oleh Indonesia bukanlah bentuk negara nachwachtersstaat (negara penjaga malam)
yang semata-mata hanya melindungi masyarakatnya dari gangguan keamanan dari
pihak luar saja melainkan Indonesia menganut bentuk Negara hukum welfare staat (Negara kesejahteraan)
yang ikut aktif dalam melakukan intervensi di masyarakat dalam bidang sosial,
politik, ekonomi, budaya dan agama. Hal itu dilakukan demi mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam salah satu konsep rechsstaat menurut Frederic Julius Stahl ciri yang paling utama
dalam Negara hukum adalah pengakuan HAM. Setiap Negara selayaknya memberikan
pengakuan dan perlindungan HAM bagi setiap masyarakatnya, termasuk kebebasan
berkeyakinan atau beragama yang merupakan bentuk HAM paling tinggi. Hal ini
sudah diatur dalam pasal 29 ayat 2 konstitusi UUD 45 bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Oleh
karena itu, jika kini kita melihat bangsa Indonesia tidak mampu lagi memberikan
rasa aman bagi setiap umat beragama maka disaat itulah Negara ini dapat
dinyatakan sebagai Negara hukum yang gagal. Tidak hanya karena tidak mampu
menjaga masyarakat dari timbulnya konflik antar umat beragama tetapi juga
karena tidak mampu menjamin adanya keberagaman dalam mengatur urusan agama di
masyarakat.
Maka seiring dengan tegasnya konstitusi UUD 45 dalam
memberikan aturan hukum mengenai tanggung jawab pemerintah terhadap keberagaman,
selayaknya kini pemerintah mulai membenahi permasalahan yang ada, konflik
antara muslim sunni dan muslim syiah di Sampang seharusnya dapat diselesaikan
dengan damai tanpa adanya konflik. Peran pemerintah disini sangatlah vital agar
tidak merusak citra damai Indonesia di mata internasional. Peran mediasi dan
diplomasi seyogianya yang lebih ditonjalkan. Publik tentu menunggu keterlibatan
pemerintah untuk menyelesaikannya segera.
Minggu, 01 Juli 2012
Aliran-aliran Ilmu Negara
1. Socrates (± 470 – 399 S.M.)
Menurut
Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat objektif, yang asal mulanya
dari pemikiran manusia. Sedang tugas negara adalah menciptakan hukum, yang
harus dilakukan oleh para pemimpin atau para penguasa yang dipilih oleh rakyat.
Disinilah timbul pemikiran Demokratis dari Socrates. Ia selalu menolak dan menentang
keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya yaitu mentaati
undang-undang.
Socrates
meninggal, karena dipaksa (dihukum) meminum racun, sebab dianggap merusak alam
pikiran dengan kepandaiannya yang telah ada waktu itu, dengan tidak meninggalkan
apa-apa, baik tulisan-tulisan yang telah dibukukan ataupun yang masih berupa
tulisan tangan. Namun, Socrates hidup terus dalam alam pemikirannya tentang
negara dan hukum, terutama berkat muridnya yang termasyur yaitu Plato. Karena
Plato dalam buku-buku karangannya memberikan tempat utama bagi gurunya yaitu
Socrates. Dalam banyak hal buku Plato bersifat tanya jawab, sedang
jawaban-jawaban itu diutarakan menurut ajaran gurunya, Socrates.[1]
Cara
bekerja Socrates yaitu dengan metode dialektis atau “tanya jawab” (dialog), dengan itu Socrates mencoba
mencari pengertian-pengertian tertentu, yaitu mencari dasar-dasar hukum dan
keadilan “yang sejati bersifat objektif dan dapat dijalankan serta diterapkan
kepada setiap manusia”.
Menurut
pendapatnya, disetiap hati kecil manusia terdapat rasa hukum dan keadilan,
bergemalah detak-detak kesucian sebab setiap insan itu merupakan sebagian Nur
Tuhan Yang Maha Pemurah, adil dan penuh kasih sayang; meskipun detak-detak
kesucian itu dapat terselubung dan ditutupi oleh kabut tebal kemilikan dan
ketamakan, kejahatan dan aneka ragam kedholiman, namun tetap ada serta tidak
dapat dihilangkan laksana cahaya abadi.
Negara
bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan
pribadinya, melainkan negara itu suatu susunan yang objektif bersandarkan
kepada sifat hakikat manusia karena itu bertugas untuk menerapkan dan
melaksanakan dan hukum-hukum objektif, termuat “keadilan bagi umum”, dan tidak
hanya melayani kebutuhan para penguasa negara yang saling berganti-ganti
orangnya.[2]
2. Plato (429-347 S.M.)
Ia
dilahirkan pada tahun 429 S.M. di Athena, tergolong ke dalam keluarga bangsawan
serta mendapat pendidikan tinggi[3].
Plato telah menulis dalam bukunya Politieia
tentang bagaimanakah corak negara yang sebaiknya atau bentuk negara yang
ideal. Perlu diketahui bahwa ilmu Negara pada zaman Plato merupakan cakupan
dari kehidupan yang meliputi Polis (negara
kota). Karena itu Ilmu Negara diajarkan sebagai Civics/Staatsburgerlijke opvoeding yang masih merupakan Sosial moral dan differensiasi ilmu pengetahuan pada waktu itu belum ada. Dalam
bukunya segala soal yang berhubungan dengan negara hanya digambarkan dalam
bentuk yang ideal. Dalam uraian selanjutnya ia menyamakan negara dengan manusia
yang mempunyai tiga kemampuan jiwa yaitu: Kehendak, Akal pikiran, Perasaan.
Golongan
yang pertama disebut golongan yang memerintah, yang merupakan otaknya di dalam
negara dengan mempergunakan akal pikirannya. Orang-orang yang mampu memerintah
adalah orang yang mempunyai kemampuan, dalam hal ini seorang raja yang berfilsafat tinggi. Golongan
kedua adalah golongan ksatria/prajurit dan
bertugas menjaga keamanan negara jika diserang dari luar atau dalam keadaan
kacau. Golongan ini dapat disamakan dengan kemauan dari hasrat manusia.
Golongan ketiga adalah golongan rakyat biasa
yang disamakan dengan perasaan manusia.
Jelas
bahwa paham dari Plato hanya suatu angan-angan saja dan ia insaf bahwa negara
semacam itu tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Karena sifat manusia itu
sendiri tidak sempurna. Selanjutnya ia menciptakan suatu bentuk negara yang
maksimal dan dapat dicapai yaitu disebut sebagai negara hukum. Dalam negara
hukum semua orang tunduk kepada hukum termasuk juga penguasa atau raja yang kadang-kadang
dapat juga bertindak sewenang-wenang.[4]
Dalam
bukunya Nomoi ( undang-undang ) kelihatan dengan jelas bahwa ajaran Plato
tentang negara dan hukum berbelok arah dari dunia cita-cita kepada dunia
kenyataan, dari idealisme kepada realisme, meskipun realismenya itu tidak mampu
mendesak seluruhnya kepada idealismenya.
Di
waktu hidupnya, ajaran-ajaran Plato itu hanya dianggap sebagai permainan
pikiran saja dari kaum penganggur, tetapi di zaman-zaman kemudian, terlebih
setelah meninggalnya Plato, ajaran-ajaran itu mempunyai nilai dan arti yang
mahabesar.[5]
3. Aristoteles (384-322 S.M.)
Aristoteles
adalah murid Plato. Ia berasal dari kerajaan Macedonia dan datang ke Yunani
waktu berusia tujuh belas tahun untuk berguru kepada Plato. Aristoteles
melanjutkan pemikiran idealisme Plato ke realisme. Oleh karena itu filsafat
Aristoteles adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologie, yaitu cara berpikir yang realistis. Sehingga dengan
demikian itulah ia dijuluki Bapak ilmu pengetahuan empiris (Vader der empirische wetenschap).
Berlainan dengan Plato yang membagi dunia dua bagian, berdasarkan
ideenleer-nya, maka Aristoteles tidak mengakui perbedaan dua dunia ini. Ia
hanya mengakui adanya satu dunia yang mempunyai proses. Jadi tidak membedakan
dunia cita dan dunia alam, tetapi pikirannya langsung ditujukan kepada
kenyataan yang sebenarnya dengan melalui panca indera.[6]
Menurut Aristoteles negara itu
adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan
dalam negara akan tercapai bila terciptanya kebahagiaan individu
(perseorangan). Sebaliknya bila manusia ingin bahagia maka ia harus bernegara,
karena manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya dalam kepentingan
hidupnya.[7]
Aristoteles membedakan dalam tiga
bentuk negara, yang kemudian jenis-jenis ini dibedakan lagi menjadi dua
berdasarkan sifatnya.
I.
Negara dimana pemerintahannya hanya
dipegang oleh satu orang saja, jadi kekuasaanya itu hanya terpusat pada satu
tangan, ini dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Negara
dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, dan pemerintahannya
itu ditujukan untuk kepentingan umum, jadi ini bersifat baik. Negara ini
disebut Monarki.
2. Negara
dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, tetapi
pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan si penguasa itu sendiri, jadi
ini
yang bersifat jelek.
Negara ini disebut Tyranni.
II.
Negara dimana pemerintahannya itu
dipegang oleh beberapa orang jadi oleh segolongan kecil saja. Disinipun
kekuasaannya dipusatkan, tetapi tidak pada satu orang, melainkan pada suatu
organ atau badan yang terdiri dari beberapa orang, ini dibedakan lagi
berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Negara
dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, dan sifatnya itu baik,
karena pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum. Negara ini disebut
Aristokrasi.
2. Negara
dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, tetapi sifatnya itu
jelek, karena pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan mereka, si
pemegang pemerintahan itu sendiri. Negara ini disebut Oligarki.
III.
Negara di mana pemerintahannya itu
dipegang oleh rakyat, ini yang dimaksud bahwa yang memegang pemerintahan adalah
rakyat itu sendiri. Ini dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Negara
di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya itu
baik, karena memperhatikan kepentingan umum atau rakyat. Negara ini disebut
Republik atau Republik Konstitusionil.
2. Negara
di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat, tetapi sifat pemerintahannya
jelek, karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk kepentingan si pemegang
kekuasaan itu saja.
Menurut Aristoteles bentuk negara yang
terbaik itu adalah Republik Konstitusionil. Hal ini berlainan dengan pendapat
Plato, yang mengatakan bahwa yang terbaik itu adalah Aristokrasi. Menurut
Aristoteles tujuan negara adalah kesempurnaan diri manusia sebagai anggota
masyarakat, sedand disini yang diutamakan adalah masyarakat, sebab kebahagiaan
manusia tergantung dari kebahagiaan masyarakat.[8]
4. Thomas Aquino (1225-1274)
Tokoh
yang penting pada abad ini adalah Thomas van Aquino. Menurut pendapatnya dalam
menerangkan kedudukan negara di dalam masyarakat berpangkal pada manusia
sebagai makhluk masyarakat (animal social)
disamping manusia sebagai makhluk politik (animal
politicum). Karena manusia sebagai makhluk masyarakat menurut kodratnya,
maka ia tidak bisa hidup dalam suatu pergaulan masyarakat dan senantiasa
mencari masyarakat itu.[9]
Filsafat Thomas Aquinas bersifat
finalities, ini berarti bahwa apa yang menjadi tujuannya itu dikemukakan
terlebih dahulu, baru kemudian harus diusahakan supaya tujuan itu dapat
tercapai.
Pendapat Thomas Aquino tentang
perimbangan kedudukan atau kekuasaan antara negara dan gereja, yaitu dikatakan
olehnya bahwa organisasi negara yang dipimpin oleh raja mempunyai kedudukan
sama dengan organisasi gereja yang dipimpin oleh Paus. Hanya saja masing-masing
organisasi itu mempunyai tugas yang berlainan. Tugas atau kekuasaan negara
adalah lapangan keduniawian, sedang tugas atau kekuasaan gereja adalah dalam
lapangan kerohanian, keagamaan.
Menurut Thomas Aquino bentuk
pemerintahan yang paling baik adalah Monarki. Karena tujuan negara itu adalah
selain member kemungkinan supaya manusia itu dapat mencapai kemulyaan yang
abadi, juga supaya manusia itu hidup susila. Hal ini dapat terlaksana apabila
terdapat perdamaian di dalam masyarakat dan untuk ini yang terpenting adalah
adanya persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu Monarki dipimpin oleh satu orang
tunggal, maka Monarki adalah yang paling ideal.
Thomas Aquino mengadakan perbedaan
hukum dalam empat golongan, yaitu:
1. Hukum
abadi atau lex aeterna, ini adalah hukum dari keseluruhannya yang berakar dalam
jiwa Tuhan
2. Hukum
Alam. Manusia adalah sebagai makhluk yang berpikir, maka ia merupakan bagian
daripada Nya. Ini adalah merupakan hukum alam.
3. Hukum
positif. Ini adalah pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia, yang disesuaikan
dengan syarat-syarat khusus yang diperlukan untuk mengatur soal-soal
keduniawian di dalam negara.
4. Hukum
Tuhan. Ini adalah hukum yang mengisi kekurangan-kekurangan daripada pikiran
manusia dan memimpin manusia dengan wahyu-wahyunya kea rah kesucian untuk hidup
di alam baka dan ini dengan cara yang tidak mungkin salah. Wahyu-wahyu inilah
yang akhirnya terhimpun dalam kitab-kitab suci.
Tentang keadilan, Thomas Aquinas
mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan, yaitu kemauan untuk memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya. Disamping itu orang harus juga
mengusahakan kepatutan, seperti yang telah diajarkan oleh Aristoteles.
Undang-undang tertulis dapat dianggap sebagai hukum dan keadilan dan yang
mendapat kekuasaan dari hukum alam.
Ajaran Thomas Aquinas merupakan puncak
dari pemikiran pada abad pertengahan dan berada pada titik balik dari
pertumbuhan kebudayaan berikutnya. Sementara itu orang mulai kelihatan
melepaskan pikiran yang teokratis, ini terjadi sebagai akibat perubahan social
dan perkembangan aliran filsafat yang nominalistis.[10]
5. F. Oppenheimer
Di
dalam bukunya Die Sache, mengatakan bahwa negara itu adalah merupakan suatu
alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat, yang
oleh golongan yang kuat tadi dilaksanakan kepada golongan yang lemah, dengan
maksud untuk menyusun dan membela kekuasaan dari golongan yang kuat tadi,
terhadap orang-orang baik dari dalam maupun luar, terutama dalam sistem
ekonomi. Sedangkan tujuan terakhir dari semuanya adalah penghisapan ekonomis
terhadap golongan yang lemah tadi oleh golongan yang kuat.[11]
6. R. Kranenburg
Mengenai
pendapatnya tentang negara Kranenburg mengatakan bahwa negara itu pada
hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok
manusia yang disebtu bangsa. Jadi menurut Kranenburg terlebih dahulu harus ada
sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi,
dengan tujuan untuk memelihara dari kepentingan kelompok tersebut. Maka disini
yang primer atau yang utama dan yang terpenting harus ada adalah kelompok manusianya.
Sedangkan negara itu adalah sekunder, artinya adanya itu menyusul kemudian dam
adanya itu hanya dapat kalau berdasarkan atas suatu kelompok manusia yang
disebut bangsa.
Pendapat Kranenburg tersebut di atas
kiranya didasarkan atau dikuatkan dengan alas- an-alasan bahwa pada zaman modern ini terdapat
formasi-formasi kerjasama internasional, atau antara bangsa-bangsa. Misalnya
Perserikatan Bangsa-bangsa. Di sini yang menjadi anggota nya adalah
negara-negara. Tetapi mengapa disebut Perserikatan Bangsa-bangsa? Bukan United
States, Melainkan United Nations. Hal yang demikian menurut Kranenburg
menunjukkan bahwa menurut pandangan modern, bangsa itu menjadi dasar dari
negara. Jadi bangsalah yang primer, yang harus terlebih dahulu, baru kemudian
menyusul adanya negara, jadi negara sifatnya sekunder.[12]
Krenenburg beranggapan pengelompokan
manusia itu didasarkan atas empat macam ukuran yaitu:
a. Pengelompokan
berada pada suatu tempat tertentu dan teratur
b. Pengelompokan
pada suatu tempat tertentu tetapi tidak teratur
c. Pengelompokan
tidak berada pada suatu tempat tetapi teratur
d. Pengelompokan
tidak berada pada suatu dan tidak teratur.[13]
7. Aliran Fasisme
Kira-kira
pada tahun 1922-1944 sebelum Perang Dunia Kedua selesai, di Italia terdapat
suatu paham yang berpengaruh dan disebut Fasisme. Ajarannya pertama-tama
menolak adanya negara hukum yang demokratis di mana dalam negara demokratis
diakui adanya hak-hak kemerdekaan manusia. Sebagai kelanjutan dari paham ini
ialah tidak diakuinya pembagian kekuasaan yang hendak mencegah adanya
tidakan-tindakan sewenang-wenang. Pembagian kekuasaan dianggap sebagai
sekunder, kedaulatan tertinggi terletak pada negara dan tidak diakui adanya
kekuasaan yang lebih tinggi dari negara. Tidak boleh ada pendapat yang
bertentangan dengan negara dan semuanya adalah untuk kepentingan negara. Jika
semua kekuasaan dipusatkan pada negara maka yang memegang kekuasaan itu adalah Duce pemimpin atas Capodel Governo. Dalam negara hanya terdapat satu partai sebagai
elit dan partai-partai lainnya tidak diakui. Negara adalah satu dan sama.
Karena sifat-sifatnya ini maka negara fasis mempunyai ciri otoriter, totaliter, dan korporatif.
Jadi dalam negara fasis orang tidak mengenal negara hukum yang dapat menjamin
kebebasan hukum dan kebebasan politik daripada warganegaranya.
Kebebasan dalam hukum dan kebebasan
dalam politik berarti mengakui adanya kebebasan individu-individu, sedangkan
individu dalam negara Fasis tidak ada artinya. Individu merupakan bagian
daripada korporasi dan korporasi-korporasi itu adalah merupakan bangsa Italia.
Bangsa Italia sebagai suatu kesatuan
moral, politik, dan ekonomi kini menjelma menjadi negara. Kepribadian tertinggi
terletak pada negara dan tidak lagi pada bangsa Italia, sehingga bukan Italia
yang membentuk negara melainkan negara Italia yang membentuk bangsanya. Negara
Fasis meripakan negara yang paling berkuasa dan menentukan segala kekuatan baik
dalam bidang moral maupun dalam bidang intelektual dari individu-individu.
Tugas negara tidak hanya terbatas pada
bidang tata tertib saja seperti halnya
dalam negara liberal dan juga tidak hanya merupakan alat untuk membatasi
kebebasan individu saja, lebih daripada itu negara mengatur seluruh kehidupan
manusia dengan disiplin yang keras mempengaruhi kemauan serta pikirannya.
Negara merupakan pusat inspirasi yang mendalam bagi setiap bangsa Italia dan
menanamkan kemungkinan dari tindakannya dalam bidangnya masing-masing baik ia
adalah seorang sarjana, seniman atau pedagang.
Pengerahan setiap warganegaranya
adalah untuk menaklukan negara-negara disekitar Italia dan kemudian hendak
membentuk suatu Imperium dunia. Hal seperti ini telah disimpan dalam dada
setiap orang Italia. Inilah yang menjadi tujuan akhir dari negara Fasis. Oleh
karena itu tujuannya tidak objektif maka dilihat dari segi Ilmu Negara ia tidak
mempunyai arti sebagai Ilmiah.[14]
8. Liberalisme
Aliran
ini sudah lama timbul sebagai reaksi dari paham Mercantilisme yang hidup pada abad 16, 17, 18 dan 19 di
negara-negara Barat yang melaksanakan plitik ekonomi berdasarkan sistem
perdagangan yang menguntungkan. Negara yang menganut aliran ini hendak
mengusahakan agar ekspor lebih besar dari impor sehingga pemasukan uang lebih
banyak daripada pengeluarannya. Pada awal abad ke 17 Menteri Colbert dari
Perancis melaksanakan politik ekonomi dengan sistem mercantilisme guna
memperoleh emas dan perak terutama dari pihak Spanyol yang pada waktu itu
menjadi negara yang sangat kaya karena banyaknya jajahan di Amerika Selatan.
Paham Liberalisme ditujukan kepada
kebesaran dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi terutama
dimaksudkan sebagai kemerdekaan dan kebebasan yang leluasa dalam mencapai
kemakmuran rakyatnya. Untuk mencapai ini negara dilarang ikut campur tangan
jika terjadi perselisihan di antara rakyatnya satu sama lain di dalam
penyelenggaraan kemakmurannya masing-masing. Dalam lapangan ekonomi paham ini
terkenal seperti yang diajarkan oleh Adam Smith. Dengan adanya aliran
liberalism ini maka tampak dengan jelas perbedaan antara negara dengan
masyarakat atau antara penguasa dengan yang dikuasai atau antara pemerintah
dengan rakyatnya.
Paham ini mula-mula dikemukakan oleh
Emmanuel Kant yang menghendaki kebebasan rakyat dari campur tangan pemerintah
dengan mengemukakan unsur-unsur yang penting dalam negara hukum seperti hak
asasi manusia dan pembagian kekuasaan negara. Dari ajaran Emmanuel Kant ini
ternyata bahwa negara hukum tidak dapat dipertahankan lagi tanpa campur tangan
pemerintah terhadap kemakmuran rakyatnya. Pemerintah tidak bisa tinggal diam
walaupun campur tangannya terhadap kepentingan rakyat harus dibatasi dengan
undang-undang. Yang sangat menarik perhatian dengan filsafatnya, paham
liberalisme ini membiarkan setiap individu mengembangkan bakatnya
masing-masing, tanpa paksaan, tekanan dan lain-lain. Dengan filsafat hidup ini
mereka beranggapan bahwa kebahagiaan hidupnya akan tercapai Dari sini mulai
lahir pengertian free fight competition
yang membawakan bermacam-macam akses di dalam masyarakat. Akses itu antara lain
perlombaan dalam mendapat keuntungan ekonomi dan sebagai akibatnya timbul
segolongan kecil manusia yang memiliki modal di dalam masyarakat dan menguasai
golongan yang terbanyak dalam masyarakat yang hidupnya tergantung mereka[15]
9. Nasional Sosialisme
Dalam
waktu yang bersamaan denga Fasisme di Italia, paham ini mempunya pengaruh yang
besar sekali di Jerman sebelum Perang Dunia II. Kalau menurut paha Fasisme,
negara adalah yang paling dan yang paling berkuasa maka menurut paham Nasiona
Sosialisme Jerman adalah Fuhrer,
Reichstag tidak mempunya arti sama sekali dan hanya sekali ia berkumpul
kalau diperlukan oleh Fuhrer untuk memberitahukan apa yang sudah dan apa yang
akan dijalankan olehnya. Paham Nasional Sosialisme itu dihidupkan di atas mytos bangsa Jerman yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di dunia baik mengenai
ciri-ciri jasmaniahnya maupun ciri-ciri rohaniahnya. Melalui ajarannya mengenai
ras, para sarjana Jerman hendak membuktikan bahwa ia adalah keturunan dari
dewa-dewa yang disebut sebagai das
Herrnvolk yang mempunyai bakat-bakat yang lebih tinggi dari bangsa-bangsa
lainnya di dunia. Adalah suatu panggilan dari bangsa Jerman untuk membentuk
negara Germania yang besar yang hendak menyamai Imperium Romawi dahulu. Anehnya
kalau bangsa Romawi dahulu dikalahkan oleh Bangsa Germania maka sekarang bangsa
Germania ingin meniru bangsa Romawi maka sekarang bangsa Germania ingin meniru
bangsa Romawi. Juga seperti halnya dengan pihak Fasisme, paham ini sesudah
Perang Dunia II selesai tidak mempunyai tempat yang subur sebagai ilmiah.[16]
[1]
Soekirno, SH. 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta:
Liberty. Hal. 98
[3]
Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 99.
[4]
Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara.
Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 16-17.
[5]
Soekirno, SH, 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 22-23.
[6]
Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 112-113
[7] Prof.H.
Abu Daud, SH, 2006, Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 22
[8]
Soekirno, SH, 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal.26-29.
[9] Moh.
Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara.
Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 18
[10]
Soekirno, SH, 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 58-63
[11]
Soekirno, SH, 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 133
[12]
Soekirno, SH, 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 142
[13]
Prof.H. Abu Daud, SH, 2006, Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal.
24
[14]
Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara.
Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 27-29
[15]
Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara.
Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 30-31
[16]
Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara.
Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 29-30
Selasa, 26 Juni 2012
Menilik Kembali Jabatan Wakil Menteri di Indonesia
Jabatan wakil menteri
di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru diterapkan oleh bangsa ini. Semenjak
awal zaman kemerdekaan Indonesia departemen luar negeri pernah memiliki wakil
menteri, meskipun ketika itu jabatan tersebut tidak bertahan lama. Tetapi kemudian
pascareformasi, muncul kembali jabatan wakil menteri tersebut yang terjadi
semenjak September 2008. Ketika itu menteri luar negeri yang dipimpin oleh
Hassan Wirajuda dibantu oleh seorang wamen yang dijabat oleh Triyono Wibowo.
Keberadaan Wamen ketika itu berdasarkan pada Peraturan
Presiden No. 20 dan 21 tahun 2008 yang mengakui keberadaan jabatan wakil
menteri.
Seiring perkembangannya, dalam meningkatkan kinerja eksekutif,
pemerintah saat ini ternyata membutuhkan wakil menteri atas pertimbangan dari Presiden
yang mana memiliki landasan hukum yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yakni “Dalam hal terdapat beban
kerja yang membutuhkan penanganan secara
khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan inilah pemerintah dapat mengangkat
wakil menteri atas pertimbangan dari Presiden.
Tetapi kemudian muncul gugatan terhadap pasal 10 UU No.
39 tahun 2008 tersebut yang mempertanyakan keberadaan jabatan wakil menteri di
pemerintahan. Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu telah memutuskan bahwa
gugatan tersebut telah dikabulkan sebagian. MK menilai bahwa keberadaan wakil
menteri masih tetap wilayah kekuasaan Presiden dan hal tersebut tidaklah
bertentangan dengan UUD 45. Namun yang
menjadi menarik disini adalah MK tidak mempermasalahkan bunyi dari pasal 10
undang-undang tersebut, tetapi memutuskan untuk mencabut penjelasan dari pasal
10 dan menyatakan penjelasan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
Penjelasan pasal 10 ini adalah “Yang dimaksud dengan
“Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet”.
Berdasarkan penjelasan ini maka MK telah memutuskan bahwa yang dikatakan
sebagai wakil menteri seharusnya bukanlah pejabat karir dan merupakan anggota
kabinet. Berarti disini MK telah memutuskan bahwa setidak-tidaknya wakil
menteri itu dapat merupakan suatu jabatan politik, merupakan anggota kabinet,
atau berbagai pengertian lain yang bukan berdasarkan penjelasan yang dinyatakan
di atas.
Pascaputusan MK NOMOR
79/PUU-IX/2011 ini maka timbul penafsiran bahwa keberadaan wakil menteri tetap
diakui dan dianggap tidak bertentangan dengan Konstitusi UUD 45. Tetapi yang
menjadi penegasan atas apa yang dimaksud dengan wakil menteri itu harus diubah
dan tidak boleh digunakan lagi atas penjelasan seperti itu. Maka tugas
pemerintah saat ini adalah merombak dan melakukan restrukturisasi dari jabatan
wakil menteri dan disesuaikan dengan apa yang dimaksud oleh putusan MK.
Keberadaan wakil menteri
saat ini harus kita pandang sebagai suatu alat untuk menjalankan tugas
pemerintah maka dari itu keberadaan wakil menteri ini haruslah kita dukung
selama hal itu masih sesuai dengan koridor yuridis dan manfaatnya.
Sabtu, 16 Juni 2012
Memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bangsa
Perkembangan arus
globalisasi di dunia saat ini berkembang cukup pesat. Perkembangan teknologi,
perdagangan, dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya menjadi isu-isu utama dalam
persaingan global. Pada kenyatannya kini banyak Negara-negara berkembang mulai
beralih dari Negara agraris menuju Negara industri demi menjaga persaingan di
pasar global. Karena itu, proses industrialisasi yang berlangsung kini memiliki
beragam problematika tersendiri yang biasa terjadi di Negara berkembang. Rendahnya
kemampuan sumber daya manusia menjadi permasalahan utama dalam proses
industrialisasi. Indonesia dalam hal ini pun tidak luput dari masalah tersebut
yang tentunya dapat memicu terhambatnya perkembangan dan kemajuan nasional.
Perubahan dari
Negara agraris menuju Negara industri, tentu harus diikuti dengan cukupnya ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh SDM. Maka dari itu, disini diperlukan suatu
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengawali proses industrialisasi
tersebut. IPTEK selayaknya hadir sebagai pendukung dari pengembangan industri
tersebut, karena tidak mungkin suatu industri dapat maju tanpa adanya
pengembangan IPTEK.
Dalam konstitusi
Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur mengenai ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang tercantum dalam pasal 31 ayat (5) yakni “Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia”. Hasil amandemen keempat konstitusi tersebut mengatur mengenai
tanggung jawab bagi pemerintah dan bangsa untuk memajukan IPTEK demi persatuan
dan kesejahteraan bangsa. Sebuah tanggung jawab yang besar tentunya mengingat
betapa pentingnya IPTEK dalam kemajuan industri suatu bangsa. Apalagi ditambah
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, persatuan dan kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia.
Dapat juga kita
lihat secara umum bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peran yang
sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, diantaranya yakni: untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan daya
saing bangsa, memperkuat kesatuan dan persatuan nasional, mewujudkan
pemerintahan yang transparan, dan meningkatkan jati diri bangsa di tingkat
internasional.
Melihat
begitu besarnya peranan dari IPTEK ini maka sudah saatnya mahasiswa dan
pemerintah kini mulai memberikan implementasi yang nyata dalam memajukan IPTEK.
Dengan keberadaan kementerian riset dan teknologi dan berbagai perguruan tinggi
di Indonesia maka besar harapan bagi bangsa ini untuk dapat mengembangkan IPTEK
untuk kemajuan industri agar mampu bersaing dengan perkembangan industri global.
Selama ini pengembangan IPTEK masih
dianggap sebelah mata baik oleh pemerintah maupun mahasiswa. Padahal jika kita
pahami lebih jauh untuk memajukan suatu Negara industri yang baik maka
dibutuhkan suatu pemahaman IPTEK bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, mahasiswa
dan pemerintah kini diharapkan mampu memahami akan urgensi IPTEK demi membentuk
Negara industri yang sejahtera..
Mewujudkan Tujuan Nasional Bangsa
Sebagai
suatu Negara hukum, Negara ini tentu memiliki landasan mengenai tujuan dari
kehidupan bernegara Indonesia. Hal ini tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yang
mana merupakan sebagai suatu bentuk grundnorm
atau staatfundamentalnorm yang
harus ditegakkan oleh pemerintah.
Tujuan
Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yakni “kemudian dari
pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia…”.
Dalam
redaksi Pembukaan UUD 45 alinea keempat tersebut terdapat beberapa poin penting
disini yang menjadi landasan dalam menerapkan tujuan bernegara, yakni yang
pertama adalah membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam kalimat tersebut, pemerintah memiliki
bentuk tanggung jawab bahwa ia harus mampu melindungi seluruh masyarakat dan
juga seluruh tanah air Indonesia. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah
ini sangat erat kaitannya dengan pemberian jaminan keamanan dan keadilan hukum
bagi setiap masyarakat Indonesia. Maka perlu adanya suatu penerapan dari supremacy of law dan equality before the law sebagai wujud
langkah konkret yang harus benar-benar diterapkan oleh pemerintah dalam rangka
memberikan jaminan keamanan dan keadilan.
Kemudian tujuan yang kedua adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai Negara welfare state, Indonesia hadir tidak
semata-mata mengatur dan melindungi masyarakatnya saja tetapi ia juga harus
mampu menjamin kesejahteraan bagi setiap penduduknya. Maka dari itu, founding fathers kita telah merumuskan
dalam pembukaan UUD 45 tersebut bahwa pemerintah perlu memberikan kesejahteraan
dan kecerdasan bagi bangsa secara menyeluruh agar bangsa ini mampu hidup
mandiri dan sejahtera.
Kemudian tujuan yang terakhir adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia. Indonesia yang merupakan bagian dari
bangsa-bangsa dunia internasional selayaknya hadir sebagai Negara yang membawa
perdamaian dan menjaga ketertiban Negara-negara di dunia. Pemerintah memiliki
tanggung jawab tidak hanya di dalam negeri tetapi juga terhadap perdamaian di
dunia internasional. Bantuan pasukan perdamaian Indonesia untuk PBB dan
memberikan bantuan arbitrasi kepada Negara-negara yang sedang bersengketa
maupun konflik merupakan langkah yang tepat dalam mewujudkan tujuan Negara ini
yakni ketertiban dunia.
Founding
fathers Negara kita telah
merumuskan mengenai tujuan apa yang harus dicapai oleh bangsa ini. Sekarang merupakan
tanggung jawab kita bersama baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia untuk
mewujudkan tujuan Negara tersebut. jangan sampai tujuan Negara ini hanya
menjadi utopia belaka yang tak akan mungkin untuk terwujud, tetapi kita harus
sudah mulai melangkah dan menyusun strategi yang tepat dalam mewujudkan tujuan
Negara Indonesia.
Sabtu, 05 Mei 2012
Menjamin Kesejahteraan Melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
Menurut
Undang-undang No 11 Tahun 2009, Kesejahteraan sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat
hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dilihat bahwa
kesejahteraan erat kaitannya dengan terpenuhinya kebutuhan material, spiritual
dan sosial masyarakat. Kesejahteraan tidak semata-mata berkaitan dengan
material saja tetapi terdapat kebutuhan spiritual dan sosial yang juga harus
terpenuhi.
Pada
dasarnya Pemerintah memiliki tanggung jawab sebagai pengatur untuk dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut demi mewujudkan kesejahteraan sosial.
Dapat dilihat dalam preambule UUD 45 alinea keempat bahwa “Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum,…”.
Dari Preambule UUD 45 di atas dapat dilihat bahwa
Pemerintahan Negara Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Kesejahteraan masyarakat menjadi suatu bentuk tanggung
jawab pemerintah yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itulah Negara
Indonesia dikenal sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state). Welfare state
merupakan bentuk dimana Negara turut campur dalam mengatur kepentingan-kepentingan
privat masyarakatnya dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan bersama.
Kepentingan-kepentingan yang sebelumnya berada di tangan rakyat kini diatur dan
ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah disini menjadi pengatur dari berbagai
sektor-sektor penting yang berkaitan erat dengan kesejahteraan umum.
Maka subsidi disini sebagai bentuk bantuan pemerintah,
selayaknya dapat hadir untuk dapat memberikan kesejahteraan umum dan dapat
memenuhi kebutuhan baik itu material, spiritual dan sosial. Akan lebih tepat
jika saat ini pemerintah dapat mengarahkan subsidi kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial. Peraturan perundang-undangan baru yang baru terbentuk yang mengatur mengenai BPJS ini, diharapkan
menjadi suatu batu loncatan bagi pemerintah untuk dapat memberikan jaminan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Dalam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 pasal 3 bahwa “BPJS bertujuan untuk
mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”. Dalam hal
ini dapat dilihat bahwa BPJS memberikan jaminan dalam kebutuhan hidup
masyarakat. Bahkan BPJS juga memiliki ruang lingkup yakni jaminan kesehatan dan
ketenagakerjaan. Perlu diketahui bahwa banyak permasalahan masyarakat kelas
bawah saat ini mengalami kesulitan dalam memperoleh kesehatan berikut juga
dengan jaminan hidup mereka ketika di hari tua disaat mereka tidak lagi
produktif. Maka karena itulah, penting disini bagi pemerintah untuk mengarahkan
subsidi kepada penyegeraan penerapan dari Undang-undang nomor 24 tahun 2011
tentang BPJS ini. Hal ini diharapkan bahwa pemerintah pada akhirnya akan mampu
memberikan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=487864&pop=1&page=262&Itemid=50
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=487864&pop=1&page=262&Itemid=50
Senin, 16 April 2012
Penerapan Techno Constitution
“Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia” Pasal 31 ayat (5) Undang-undang Dasar 1945.
Konstitusi Undang-undang Dasar 1945 adalah peraturan
tertinggi bangsa Indonesia yang menjadi landasan atau dasar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dapat kita lihat pada pasal 31 ayat (5) tersebut
diterangkan bahwa pemerintah diberikan wewenang oleh konstitusi untuk memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemajuan peradaban dan kesejahteraan. Pernyataan yang selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun
2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Disini dijelaskan bahwa pemerintah mengemban
kewajiban merumuskan arah, prioritas, dan kerangka kebijakan pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara
nasional.
Hal ini tentu masuk akal jika kita perhatikan betapa
pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangan suatu bangsa.
Apalagi ditambah dengan menjunjung tinggi nilai agama, persatuan dan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Pada implementasinya di Negara Indonesia sudah dibentuk
suatu kementerian riset dan teknologi sebelum pasal mengenai teknologi itu
dicantumkan dalam konstitusi pada tahun 2002.
Tugas dari kementrian riset dan teknologi ini adalah untuk menyelenggarakan urusan di bidang riset, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan Negara. Selain itu kementerian ini memiliki fungsi yakni:
- Perumusan dan penetapan
kebijakan di bidang riset dan teknologi;
- Koordinasi dan sinkronisasi
pelaksanaan kebijakan di bidang riset dan teknologi;
- Pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Riset dan
Teknologi; dan
- Pengawasan atas pelaksanaan
tugas di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi.
Tetapi pada faktanya tugas dan fungsi dari kementerian Riset dan
Teknologi ini belum dapat menerapkan sepenuhnya amanah dari Konstitusi pada
pasal 31 ayat 5 tersebut. Pengembangan teknologi digunakan semata-mata untuk
kepentingan pemerintah dan belum berdampak langsung terhadap kesejahteraan
masyarakat. Seharusnya terdapat tindakan atau kegiatan langsung terhadap masyarakat
mengenai pengembangan terkait teknologi yang ada di masyarakat, sehingga
tercapai suatu efisiensi dalam berbagai kegiatan ekonomi maupun pendidikan
dalam masyarakat. Hal yang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah dapat
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara langsung dapat dirasakan
oleh masyarakat. Yakni mengarahkan tanggung jawab tersebut kepada sektor-sektor ekonomi demi mengembangkan kesejahteraan umum.
Jika kita pahami lebih lanjut
mengenai pasal tersebut, maka dapat kita perhami bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi penting untuk diatur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk
pasal ini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk Techno Constitution yang mana terdapat pengaturan mengenai
teknologi di dalam peraturan konstitusi suatu Negara. Pada kenyataannya tidak
banyak Negara yang mengatur mengenai techno
constitution ini di dalam konstitusinya. Beberapa Negara di Eropa dan bahkan
Amerika pun tidak mengatur mengenai hal ini dalam konstitusi negaranya. Padahal
jika kita lihat lebih dalam bahwa Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah unsur utama dalam kemajuan suatu
negara, demi terbentuknya masyarakat
berbasis pengetahuan. Dapat
kita lihat secara umum, ilmu
pengetahuan dan teknologi memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan negara, diantaranya yakni: (a)
Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, (b) Meningkatkan daya saing bangsa, (c) Memperkuat
kesatuan dan persatuan nasional, (d) Mewujudkan pemerintahan yang transparan,
dan (e) Meningkatkan jati diri bangsa di tingkat internasional. Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan dapat
mendayagunakan sumber daya alam untuk menunjang kesejahteraan dan meningkatkan
kualitas kehidupannya.
Pengaturan mengenai techno constitution ini tidak hanya berlaku di Indonesia, Negara lain yang mengatur mengenai techno constitution ini selain Indonesia
adalah Portugal. Negara Portugal mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah adalah
hal mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang ekonomi dan
sosial. Disini dapat kita lihat terdapat perbedaan antara pengkodifikasian
antara Indonesia dan Negara Portugal mengenai techno constitution. Jika kita lihat pada konstitusi Portugal pasal
81 pada part II section I menentukan bahwa di bidang ekonomi dan sosial, tugas
pokok Negara adalah (in the economic and
social sphere the prime duties of the state are): Huruf (m) “untuk
mengembangkan kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong atau
mendukung tahap pembangunan nasional selanjutnya (to draw up a scientific and technological policy that furthers the
country’s development). Pada konstitusi Portugal ini pengaturan mengenai techno constitution berada di bagian
ekonomi dan sosial. Berbeda halnya dengan pengaturan techno constitution di Indonesia yang mana berada pada bab
pendidikan dan kebudayaan.
Menurut saya disini terdapat perbedaan sudut pandang,
dimana Negara Portugal lebih melihat kepentingan mengenai techno constitution berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan
sosial masyarakat, sehingga hal tersebut diatur sebagai subpasal dari bentuk
konstitusi ekonomi yang dimiliki Portugal pada pasal 81 tersebut. Lain halnya
dengan Indonesia yang menganggap pengaturan techno
constitution ini berkaitan dengan
pendidikan dan kebudayaan, dan terpisah dengan bentuk konstitusi ekonomi yang
dimiliki Indonesia yakni pada pasal 33 mengenai bab Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial. Namun meskipun diatur secara terpisah, tetapi pada
dasarnya dapat dikaitkan dengan perekonomian dan kesejahteraan sosial karena
dapat kita lihat pada pasal 31 ayat 5
ini terdapat kalimat “...untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia”. Sehingga disini Indonesia juga berpandangan bahwa pengaturan mengenai
techno constitution memberikan tujuan
akhir untuk kesejahteraan umat manusia.
Maka dapat saya simpulkan disini bahwa inti penerapan
dari bentuk techno constitution ini
bertujuan kepada dua hal yakni:
1.
Sebagai pendidikan dan ilmu pengetahuan
untuk pengembangan teknologi suatu negara
2.
Membangun perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial
Bahkan
pada akhirnya penerapan teknologi ini tidak hanya berkaitan dengan pendidikan dan ekonomi saja, tetapi bagi seluruh
aspek kehidupan masyarakat. seperti sebagai perlindungan keamanan Negara dan
pengembangan teknologi terhadap penyelesaian kasus-kasus hukum yang berkembang.
techno constitution
pun tidak dapat lepas dari nilai-nilai agama, seperti konstitusi yang dianut
oleh bangsa Indonesia. Bahwa teknologi itu erat kaitannya dengan agama sebagai
landasan dasar berpikir secara filosofis maupun dalam penerapan teknologinya
yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Oleh
karena itu, penerapan techno constitution
sangatlah penting untuk diatur dalam konstitusi suatu Negara. Hal ini merupakan
landasan bagi pemerintah untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk membangun peradaban serta kesejahteraan umat. Dengan tanpa
adanya pengaturan mengenai techno
constitution bagi suatu Negara maka
Negara tersebut tidak akan melakukan pengembangan teknologi sehingga dapat
diperkirakan pada akhirnya Negara tersebut akan tertinggal baik dalam bidang pendidikan,
ekonomi, kesejahteraan, kemanan dan pertahanan Negara. Pentingnya akan
teknologi terhadap suatu bangsa tidak dapat dipungkiri lagi, maka penerapan techno constitution ini sangatlah penting diatur pada peraturan
tertinggi suatu Negara atau Konstitusi sebagai wujud dari peran pemerintah dan
masyarakat dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Langganan:
Postingan (Atom)