Rabu, 12 September 2012

Negara Hukum yang Gagal


Keberagaman umat beragama di Indonesia merupakan suatu bentuk contoh keberagaman yang diakui dunia. Setiap agama di Indonesia memiliki nilai toleransi tinggi dan menjunjung nilai-nilai pancasila. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi kalimat yang diagung-agungkan oleh bangsa ini untuk bersama membangun negeri dalam ragam perbedaan. Tetapi kerukunan umat beragama yang selama ini terjalin sedikit terecoki dengan kasus Sampang sebagai bentuk kekerasan dan main hakim sendiri. Pertentangan dan perselisihan antara umat beragama kerap terjadi di beberapa daerah. Kerugian baik materil maupun moril adalah hal yang lumrah didapat oleh masyarakat yang sering mengalami konflik, bahkan korban jiwapun tidak luput dari dampak kerugian tersebut.
          Padahal pasal 1 ayat 3 UUD 45 telah menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Negara hukum (Rechsstaat) yang dianut oleh Indonesia bukanlah bentuk negara nachwachtersstaat (negara penjaga malam) yang semata-mata hanya melindungi masyarakatnya dari gangguan keamanan dari pihak luar saja melainkan Indonesia menganut bentuk Negara hukum welfare staat (Negara kesejahteraan) yang ikut aktif dalam melakukan intervensi di masyarakat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Hal itu dilakukan demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
        Dalam salah satu konsep rechsstaat menurut Frederic Julius Stahl ciri yang paling utama dalam Negara hukum adalah pengakuan HAM. Setiap Negara selayaknya memberikan pengakuan dan perlindungan HAM bagi setiap masyarakatnya, termasuk kebebasan berkeyakinan atau beragama yang merupakan bentuk HAM paling tinggi. Hal ini sudah diatur dalam pasal 29 ayat 2 konstitusi UUD 45 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Oleh karena itu, jika kini kita melihat bangsa Indonesia tidak mampu lagi memberikan rasa aman bagi setiap umat beragama maka disaat itulah Negara ini dapat dinyatakan sebagai Negara hukum yang gagal. Tidak hanya karena tidak mampu menjaga masyarakat dari timbulnya konflik antar umat beragama tetapi juga karena tidak mampu menjamin adanya keberagaman dalam mengatur urusan agama di masyarakat.
        Maka seiring dengan tegasnya konstitusi UUD 45 dalam memberikan aturan hukum mengenai tanggung jawab pemerintah terhadap keberagaman, selayaknya kini pemerintah mulai membenahi permasalahan yang ada, konflik antara muslim sunni dan muslim syiah di Sampang seharusnya dapat diselesaikan dengan damai tanpa adanya konflik. Peran pemerintah disini sangatlah vital agar tidak merusak citra damai Indonesia di mata internasional. Peran mediasi dan diplomasi seyogianya yang lebih ditonjalkan. Publik tentu menunggu keterlibatan pemerintah untuk menyelesaikannya segera.
            

Minggu, 01 Juli 2012

Aliran-aliran Ilmu Negara


1. Socrates (± 470 – 399 S.M.)
Menurut Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan  yang bersifat objektif, yang asal mulanya dari pemikiran manusia. Sedang tugas negara adalah menciptakan hukum, yang harus dilakukan oleh para pemimpin atau para penguasa yang dipilih oleh rakyat. Disinilah timbul pemikiran Demokratis dari Socrates. Ia selalu menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya yaitu mentaati undang-undang.
Socrates meninggal, karena dipaksa (dihukum) meminum racun, sebab dianggap merusak alam pikiran dengan kepandaiannya yang telah ada waktu itu, dengan tidak meninggalkan apa-apa, baik tulisan-tulisan yang telah dibukukan ataupun yang masih berupa tulisan tangan. Namun, Socrates hidup terus dalam alam pemikirannya tentang negara dan hukum, terutama berkat muridnya yang termasyur yaitu Plato. Karena Plato dalam buku-buku karangannya memberikan tempat utama bagi gurunya yaitu Socrates. Dalam banyak hal buku Plato bersifat tanya jawab, sedang jawaban-jawaban itu diutarakan menurut ajaran gurunya, Socrates.[1]
Cara bekerja Socrates yaitu dengan metode dialektis atau “tanya jawab” (dialog), dengan itu Socrates mencoba mencari pengertian-pengertian tertentu, yaitu mencari dasar-dasar hukum dan keadilan “yang sejati bersifat objektif dan dapat dijalankan serta diterapkan kepada setiap manusia”.
Menurut pendapatnya, disetiap hati kecil manusia terdapat rasa hukum dan keadilan, bergemalah detak-detak kesucian sebab setiap insan itu merupakan sebagian Nur Tuhan Yang Maha Pemurah, adil dan penuh kasih sayang; meskipun detak-detak kesucian itu dapat terselubung dan ditutupi oleh kabut tebal kemilikan dan ketamakan, kejahatan dan aneka ragam kedholiman, namun tetap ada serta tidak dapat dihilangkan laksana cahaya abadi.
Negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan pribadinya, melainkan negara itu suatu susunan yang objektif bersandarkan kepada sifat hakikat manusia karena itu bertugas untuk menerapkan dan melaksanakan dan hukum-hukum objektif, termuat “keadilan bagi umum”, dan tidak hanya melayani kebutuhan para penguasa negara yang saling berganti-ganti orangnya.[2]


2. Plato (429-347 S.M.)
Ia dilahirkan pada tahun 429 S.M. di Athena, tergolong ke dalam keluarga bangsawan serta mendapat pendidikan tinggi[3]. Plato telah menulis dalam bukunya Politieia tentang bagaimanakah corak negara yang sebaiknya atau bentuk negara yang ideal. Perlu diketahui bahwa ilmu Negara pada zaman Plato merupakan cakupan dari kehidupan yang meliputi Polis (negara kota). Karena itu Ilmu Negara diajarkan sebagai Civics/Staatsburgerlijke opvoeding yang masih merupakan Sosial moral dan differensiasi ilmu pengetahuan pada waktu itu belum ada. Dalam bukunya segala soal yang berhubungan dengan negara hanya digambarkan dalam bentuk yang ideal. Dalam uraian selanjutnya ia menyamakan negara dengan manusia yang mempunyai tiga kemampuan jiwa yaitu: Kehendak, Akal pikiran, Perasaan.
Golongan yang pertama disebut golongan yang memerintah, yang merupakan otaknya di dalam negara dengan mempergunakan akal pikirannya. Orang-orang yang mampu memerintah adalah orang yang mempunyai kemampuan, dalam hal ini seorang raja yang berfilsafat tinggi. Golongan kedua adalah golongan ksatria/prajurit dan bertugas menjaga keamanan negara jika diserang dari luar atau dalam keadaan kacau. Golongan ini dapat disamakan dengan kemauan dari hasrat manusia. Golongan ketiga adalah golongan rakyat biasa yang disamakan dengan perasaan manusia.
Jelas bahwa paham dari Plato hanya suatu angan-angan saja dan ia insaf bahwa negara semacam itu tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Karena sifat manusia itu sendiri tidak sempurna. Selanjutnya ia menciptakan suatu bentuk negara yang maksimal dan dapat dicapai yaitu disebut sebagai negara hukum. Dalam negara hukum semua orang tunduk kepada hukum termasuk juga penguasa atau raja yang kadang-kadang dapat juga bertindak sewenang-wenang.[4]
Dalam bukunya Nomoi ( undang-undang ) kelihatan dengan jelas bahwa ajaran Plato tentang negara dan hukum berbelok arah dari dunia cita-cita kepada dunia kenyataan, dari idealisme kepada realisme, meskipun realismenya itu tidak mampu mendesak seluruhnya kepada idealismenya.
Di waktu hidupnya, ajaran-ajaran Plato itu hanya dianggap sebagai permainan pikiran saja dari kaum penganggur, tetapi di zaman-zaman kemudian, terlebih setelah meninggalnya Plato, ajaran-ajaran itu mempunyai nilai dan arti yang mahabesar.[5]
3. Aristoteles (384-322 S.M.)
            Aristoteles adalah murid Plato. Ia berasal dari kerajaan Macedonia dan datang ke Yunani waktu berusia tujuh belas tahun untuk berguru kepada Plato. Aristoteles melanjutkan pemikiran idealisme Plato ke realisme. Oleh karena itu filsafat Aristoteles adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologie, yaitu cara berpikir yang realistis. Sehingga dengan demikian itulah ia dijuluki Bapak ilmu pengetahuan empiris (Vader der empirische wetenschap). Berlainan dengan Plato yang membagi dunia dua bagian, berdasarkan ideenleer-nya, maka Aristoteles tidak mengakui perbedaan dua dunia ini. Ia hanya mengakui adanya satu dunia yang mempunyai proses. Jadi tidak membedakan dunia cita dan dunia alam, tetapi pikirannya langsung ditujukan kepada kenyataan yang sebenarnya dengan melalui panca indera.[6]
            Menurut Aristoteles negara itu adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan dalam negara akan tercapai bila terciptanya kebahagiaan individu (perseorangan). Sebaliknya bila manusia ingin bahagia maka ia harus bernegara, karena manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya dalam kepentingan hidupnya.[7]
            Aristoteles membedakan dalam tiga bentuk negara, yang kemudian jenis-jenis ini dibedakan lagi menjadi dua berdasarkan sifatnya.
       I.            Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, jadi kekuasaanya itu hanya terpusat pada satu tangan, ini dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu:
1.      Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, dan pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum, jadi ini bersifat baik. Negara ini disebut Monarki.
2.      Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, tetapi pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan si penguasa itu sendiri, jadi ini
yang bersifat jelek. Negara ini disebut Tyranni.

    II.            Negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang jadi oleh segolongan kecil saja. Disinipun kekuasaannya dipusatkan, tetapi tidak pada satu orang, melainkan pada suatu organ atau badan yang terdiri dari beberapa orang, ini dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu:
1.      Negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, dan sifatnya itu baik, karena pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum. Negara ini disebut Aristokrasi.
2.      Negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, tetapi sifatnya itu jelek, karena pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan mereka, si pemegang pemerintahan itu sendiri. Negara ini disebut Oligarki.
 III.            Negara di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat, ini yang dimaksud bahwa yang memegang pemerintahan adalah rakyat itu sendiri. Ini dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1.      Negara di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya itu baik, karena memperhatikan kepentingan umum atau rakyat. Negara ini disebut Republik atau Republik Konstitusionil.
2.      Negara di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat, tetapi sifat pemerintahannya jelek, karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk kepentingan si pemegang kekuasaan itu saja.
Menurut Aristoteles bentuk negara yang terbaik itu adalah Republik Konstitusionil. Hal ini berlainan dengan pendapat Plato, yang mengatakan bahwa yang terbaik itu adalah Aristokrasi. Menurut Aristoteles tujuan negara adalah kesempurnaan diri manusia sebagai anggota masyarakat, sedand disini yang diutamakan adalah masyarakat, sebab kebahagiaan manusia tergantung dari kebahagiaan masyarakat.[8]
4. Thomas Aquino (1225-1274)
            Tokoh yang penting pada abad ini adalah Thomas van Aquino. Menurut pendapatnya dalam menerangkan kedudukan negara di dalam masyarakat berpangkal pada manusia sebagai makhluk masyarakat (animal social) disamping manusia sebagai makhluk politik (animal politicum). Karena manusia sebagai makhluk masyarakat menurut kodratnya, maka ia tidak bisa hidup dalam suatu pergaulan masyarakat dan senantiasa mencari masyarakat itu.[9]
            Filsafat Thomas Aquinas bersifat finalities, ini berarti bahwa apa yang menjadi tujuannya itu dikemukakan terlebih dahulu, baru kemudian harus diusahakan supaya tujuan itu dapat tercapai.
            Pendapat Thomas Aquino tentang perimbangan kedudukan atau kekuasaan antara negara dan gereja, yaitu dikatakan olehnya bahwa organisasi negara yang dipimpin oleh raja mempunyai kedudukan sama dengan organisasi gereja yang dipimpin oleh Paus. Hanya saja masing-masing organisasi itu mempunyai tugas yang berlainan. Tugas atau kekuasaan negara adalah lapangan keduniawian, sedang tugas atau kekuasaan gereja adalah dalam lapangan kerohanian, keagamaan.
            Menurut Thomas Aquino bentuk pemerintahan yang paling baik adalah Monarki. Karena tujuan negara itu adalah selain member kemungkinan supaya manusia itu dapat mencapai kemulyaan yang abadi, juga supaya manusia itu hidup susila. Hal ini dapat terlaksana apabila terdapat perdamaian di dalam masyarakat dan untuk ini yang terpenting adalah adanya persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu Monarki dipimpin oleh satu orang tunggal, maka Monarki adalah yang paling ideal.
            Thomas Aquino mengadakan perbedaan hukum dalam empat golongan, yaitu:
1.      Hukum abadi atau lex aeterna, ini adalah hukum dari keseluruhannya yang berakar dalam jiwa Tuhan
2.      Hukum Alam. Manusia adalah sebagai makhluk yang berpikir, maka ia merupakan bagian daripada Nya. Ini adalah merupakan hukum alam.
3.      Hukum positif. Ini adalah pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia, yang disesuaikan dengan syarat-syarat khusus yang diperlukan untuk mengatur soal-soal keduniawian di dalam negara.
4.      Hukum Tuhan. Ini adalah hukum yang mengisi kekurangan-kekurangan daripada pikiran manusia dan memimpin manusia dengan wahyu-wahyunya kea rah kesucian untuk hidup di alam baka dan ini dengan cara yang tidak mungkin salah. Wahyu-wahyu inilah yang akhirnya terhimpun dalam kitab-kitab suci.
Tentang keadilan, Thomas Aquinas mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan, yaitu kemauan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Disamping itu orang harus juga mengusahakan kepatutan, seperti yang telah diajarkan oleh Aristoteles. Undang-undang tertulis dapat dianggap sebagai hukum dan keadilan dan yang mendapat kekuasaan dari hukum alam.
Ajaran Thomas Aquinas merupakan puncak dari pemikiran pada abad pertengahan dan berada pada titik balik dari pertumbuhan kebudayaan berikutnya. Sementara itu orang mulai kelihatan melepaskan pikiran yang teokratis, ini terjadi sebagai akibat perubahan social dan perkembangan aliran filsafat yang nominalistis.[10]




5. F. Oppenheimer
            Di dalam bukunya Die Sache, mengatakan bahwa negara itu adalah merupakan suatu alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat, yang oleh golongan yang kuat tadi dilaksanakan kepada golongan yang lemah, dengan maksud untuk menyusun dan membela kekuasaan dari golongan yang kuat tadi, terhadap orang-orang baik dari dalam maupun luar, terutama dalam sistem ekonomi. Sedangkan tujuan terakhir dari semuanya adalah penghisapan ekonomis terhadap golongan yang lemah tadi oleh golongan yang kuat.[11]
6. R. Kranenburg
            Mengenai pendapatnya tentang negara Kranenburg mengatakan bahwa negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebtu bangsa. Jadi menurut Kranenburg terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara dari kepentingan kelompok tersebut. Maka disini yang primer atau yang utama dan yang terpenting harus ada adalah kelompok manusianya. Sedangkan negara itu adalah sekunder, artinya adanya itu menyusul kemudian dam adanya itu hanya dapat kalau berdasarkan atas suatu kelompok manusia yang disebut bangsa.
            Pendapat Kranenburg tersebut di atas kiranya didasarkan atau dikuatkan dengan alas- an-alasan  bahwa pada zaman modern ini terdapat formasi-formasi kerjasama internasional, atau antara bangsa-bangsa. Misalnya Perserikatan Bangsa-bangsa. Di sini yang menjadi anggota nya adalah negara-negara. Tetapi mengapa disebut Perserikatan Bangsa-bangsa? Bukan United States, Melainkan United Nations. Hal yang demikian menurut Kranenburg menunjukkan bahwa menurut pandangan modern, bangsa itu menjadi dasar dari negara. Jadi bangsalah yang primer, yang harus terlebih dahulu, baru kemudian menyusul adanya negara, jadi negara sifatnya sekunder.[12]
            Krenenburg beranggapan pengelompokan manusia itu didasarkan atas empat macam ukuran yaitu:
a.       Pengelompokan berada pada suatu tempat tertentu dan teratur
b.      Pengelompokan pada suatu tempat tertentu tetapi tidak teratur
c.       Pengelompokan tidak berada pada suatu tempat tetapi teratur
d.      Pengelompokan tidak berada pada suatu dan tidak teratur.[13]
7. Aliran Fasisme
            Kira-kira pada tahun 1922-1944 sebelum Perang Dunia Kedua selesai, di Italia terdapat suatu paham yang berpengaruh dan disebut Fasisme. Ajarannya pertama-tama menolak adanya negara hukum yang demokratis di mana dalam negara demokratis diakui adanya hak-hak kemerdekaan manusia. Sebagai kelanjutan dari paham ini ialah tidak diakuinya pembagian kekuasaan yang hendak mencegah adanya tidakan-tindakan sewenang-wenang. Pembagian kekuasaan dianggap sebagai sekunder, kedaulatan tertinggi terletak pada negara dan tidak diakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari negara. Tidak boleh ada pendapat yang bertentangan dengan negara dan semuanya adalah untuk kepentingan negara. Jika semua kekuasaan dipusatkan pada negara maka yang memegang kekuasaan itu adalah Duce pemimpin atas Capodel Governo. Dalam negara hanya terdapat satu partai sebagai elit dan partai-partai lainnya tidak diakui. Negara adalah satu dan sama. Karena sifat-sifatnya ini maka negara fasis mempunyai ciri otoriter, totaliter, dan korporatif. Jadi dalam negara fasis orang tidak mengenal negara hukum yang dapat menjamin kebebasan hukum dan kebebasan politik daripada warganegaranya.
            Kebebasan dalam hukum dan kebebasan dalam politik berarti mengakui adanya kebebasan individu-individu, sedangkan individu dalam negara Fasis tidak ada artinya. Individu merupakan bagian daripada korporasi dan korporasi-korporasi itu adalah merupakan bangsa Italia.
            Bangsa Italia sebagai suatu kesatuan moral, politik, dan ekonomi kini menjelma menjadi negara. Kepribadian tertinggi terletak pada negara dan tidak lagi pada bangsa Italia, sehingga bukan Italia yang membentuk negara melainkan negara Italia yang membentuk bangsanya. Negara Fasis meripakan negara yang paling berkuasa dan menentukan segala kekuatan baik dalam bidang moral maupun dalam bidang intelektual dari individu-individu. Tugas negara tidak hanya terbatas pada  bidang tata tertib saja seperti halnya  dalam negara liberal dan juga tidak hanya merupakan alat untuk membatasi kebebasan individu saja, lebih daripada itu negara mengatur seluruh kehidupan manusia dengan disiplin yang keras mempengaruhi kemauan serta pikirannya. Negara merupakan pusat inspirasi yang mendalam bagi setiap bangsa Italia dan menanamkan kemungkinan dari tindakannya dalam bidangnya masing-masing baik ia adalah seorang sarjana, seniman atau pedagang.
            Pengerahan setiap warganegaranya adalah untuk menaklukan negara-negara disekitar Italia dan kemudian hendak membentuk suatu Imperium dunia. Hal seperti ini telah disimpan dalam dada setiap orang Italia. Inilah yang menjadi tujuan akhir dari negara Fasis. Oleh karena itu tujuannya tidak objektif maka dilihat dari segi Ilmu Negara ia tidak mempunyai arti sebagai Ilmiah.[14]
8. Liberalisme
            Aliran ini sudah lama timbul sebagai reaksi dari paham Mercantilisme yang hidup pada abad 16, 17, 18 dan 19 di negara-negara Barat yang melaksanakan plitik ekonomi berdasarkan sistem perdagangan yang menguntungkan. Negara yang menganut aliran ini hendak mengusahakan agar ekspor lebih besar dari impor sehingga pemasukan uang lebih banyak daripada pengeluarannya. Pada awal abad ke 17 Menteri Colbert dari Perancis melaksanakan politik ekonomi dengan sistem mercantilisme guna memperoleh emas dan perak terutama dari pihak Spanyol yang pada waktu itu menjadi negara yang sangat kaya karena banyaknya jajahan di Amerika Selatan.
            Paham Liberalisme ditujukan kepada kebesaran dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi terutama dimaksudkan sebagai kemerdekaan dan kebebasan yang leluasa dalam mencapai kemakmuran rakyatnya. Untuk mencapai ini negara dilarang ikut campur tangan jika terjadi perselisihan di antara rakyatnya satu sama lain di dalam penyelenggaraan kemakmurannya masing-masing. Dalam lapangan ekonomi paham ini terkenal seperti yang diajarkan oleh Adam Smith. Dengan adanya aliran liberalism ini maka tampak dengan jelas perbedaan antara negara dengan masyarakat atau antara penguasa dengan yang dikuasai atau antara pemerintah dengan rakyatnya.
            Paham ini mula-mula dikemukakan oleh Emmanuel Kant yang menghendaki kebebasan rakyat dari campur tangan pemerintah dengan mengemukakan unsur-unsur yang penting dalam negara hukum seperti hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan negara. Dari ajaran Emmanuel Kant ini ternyata bahwa negara hukum tidak dapat dipertahankan lagi tanpa campur tangan pemerintah terhadap kemakmuran rakyatnya. Pemerintah tidak bisa tinggal diam walaupun campur tangannya terhadap kepentingan rakyat harus dibatasi dengan undang-undang. Yang sangat menarik perhatian dengan filsafatnya, paham liberalisme ini membiarkan setiap individu mengembangkan bakatnya masing-masing, tanpa paksaan, tekanan dan lain-lain. Dengan filsafat hidup ini mereka beranggapan bahwa kebahagiaan hidupnya akan tercapai Dari sini mulai lahir pengertian free fight competition yang membawakan bermacam-macam akses di dalam masyarakat. Akses itu antara lain perlombaan dalam mendapat keuntungan ekonomi dan sebagai akibatnya timbul segolongan kecil manusia yang memiliki modal di dalam masyarakat dan menguasai golongan yang terbanyak dalam masyarakat yang hidupnya tergantung mereka[15]
9. Nasional Sosialisme
            Dalam waktu yang bersamaan denga Fasisme di Italia, paham ini mempunya pengaruh yang besar sekali di Jerman sebelum Perang Dunia II. Kalau menurut paha Fasisme, negara adalah yang paling dan yang paling berkuasa maka menurut paham Nasiona Sosialisme Jerman adalah Fuhrer, Reichstag tidak mempunya arti sama sekali dan hanya sekali ia berkumpul kalau diperlukan oleh Fuhrer untuk memberitahukan apa yang sudah dan apa yang akan dijalankan olehnya. Paham Nasional Sosialisme itu dihidupkan di atas mytos bangsa Jerman yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di dunia baik mengenai ciri-ciri jasmaniahnya maupun ciri-ciri rohaniahnya. Melalui ajarannya mengenai ras, para sarjana Jerman hendak membuktikan bahwa ia adalah keturunan dari dewa-dewa yang disebut sebagai das Herrnvolk yang mempunyai bakat-bakat yang lebih tinggi dari bangsa-bangsa lainnya di dunia. Adalah suatu panggilan dari bangsa Jerman untuk membentuk negara Germania yang besar yang hendak menyamai Imperium Romawi dahulu. Anehnya kalau bangsa Romawi dahulu dikalahkan oleh Bangsa Germania maka sekarang bangsa Germania ingin meniru bangsa Romawi maka sekarang bangsa Germania ingin meniru bangsa Romawi. Juga seperti halnya dengan pihak Fasisme, paham ini sesudah Perang Dunia II selesai tidak mempunyai tempat yang subur sebagai ilmiah.[16]
           

           



[1] Soekirno, SH. 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 98
2 Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 12
[3] Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara.  Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 99.
[4] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 16-17.
[5] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 22-23.

[6] Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara.  Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 112-113
[7] Prof.H. Abu Daud, SH, 2006,  Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 22
[8] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal.26-29.
[9] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 18
[10] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 58-63
[11] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 133
[12] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 142
[13] Prof.H. Abu Daud, SH, 2006,  Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 24
[14] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 27-29
[15] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 30-31
[16] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 29-30

Selasa, 26 Juni 2012

Menilik Kembali Jabatan Wakil Menteri di Indonesia


Jabatan wakil menteri di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru diterapkan oleh bangsa ini. Semenjak awal zaman kemerdekaan Indonesia departemen luar negeri pernah memiliki wakil menteri, meskipun ketika itu jabatan tersebut tidak bertahan lama. Tetapi kemudian pascareformasi, muncul kembali jabatan wakil menteri tersebut yang terjadi semenjak September 2008. Ketika itu menteri luar negeri yang dipimpin oleh Hassan Wirajuda dibantu oleh seorang wamen yang dijabat oleh Triyono Wibowo. Keberadaan Wamen ketika itu berdasarkan pada Peraturan Presiden No. 20 dan 21 tahun 2008 yang mengakui keberadaan jabatan wakil menteri.
            Seiring perkembangannya, dalam meningkatkan kinerja eksekutif, pemerintah saat ini ternyata membutuhkan wakil menteri atas pertimbangan dari Presiden yang mana memiliki landasan hukum yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yakni “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan  penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”. Berdasarkan peraturan perundang-undangan inilah pemerintah dapat mengangkat wakil menteri atas pertimbangan dari Presiden.
            Tetapi kemudian muncul gugatan terhadap pasal 10 UU No. 39 tahun 2008 tersebut yang mempertanyakan keberadaan jabatan wakil menteri di pemerintahan. Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu telah memutuskan bahwa gugatan tersebut telah dikabulkan sebagian. MK menilai bahwa keberadaan wakil menteri masih tetap wilayah kekuasaan Presiden dan hal tersebut tidaklah bertentangan dengan UUD 45. Namun  yang menjadi menarik disini adalah MK tidak mempermasalahkan bunyi dari pasal 10 undang-undang tersebut, tetapi memutuskan untuk mencabut penjelasan dari pasal 10 dan menyatakan penjelasan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
            Penjelasan pasal 10 ini adalah “Yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet”. Berdasarkan penjelasan ini maka MK telah memutuskan bahwa yang dikatakan sebagai wakil menteri seharusnya bukanlah pejabat karir dan merupakan anggota kabinet. Berarti disini MK telah memutuskan bahwa setidak-tidaknya wakil menteri itu dapat merupakan suatu jabatan politik, merupakan anggota kabinet, atau berbagai pengertian lain yang bukan berdasarkan penjelasan yang dinyatakan di atas.
            Pascaputusan MK NOMOR 79/PUU-IX/2011 ini maka timbul penafsiran bahwa keberadaan wakil menteri tetap diakui dan dianggap tidak bertentangan dengan Konstitusi UUD 45. Tetapi yang menjadi penegasan atas apa yang dimaksud dengan wakil menteri itu harus diubah dan tidak boleh digunakan lagi atas penjelasan seperti itu. Maka tugas pemerintah saat ini adalah merombak dan melakukan restrukturisasi dari jabatan wakil menteri dan disesuaikan dengan apa yang dimaksud oleh putusan MK.
            Keberadaan wakil menteri saat ini harus kita pandang sebagai suatu alat untuk menjalankan tugas pemerintah maka dari itu keberadaan wakil menteri ini haruslah kita dukung selama hal itu masih sesuai dengan koridor yuridis dan manfaatnya.

Sabtu, 16 Juni 2012

Memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bangsa



Perkembangan arus globalisasi di dunia saat ini berkembang cukup pesat. Perkembangan teknologi, perdagangan, dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya menjadi isu-isu utama dalam persaingan global. Pada kenyatannya kini banyak Negara-negara berkembang mulai beralih dari Negara agraris menuju Negara industri demi menjaga persaingan di pasar global. Karena itu, proses industrialisasi yang berlangsung kini memiliki beragam problematika tersendiri yang biasa terjadi di Negara berkembang. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia menjadi permasalahan utama dalam proses industrialisasi. Indonesia dalam hal ini pun tidak luput dari masalah tersebut yang tentunya dapat memicu terhambatnya perkembangan dan kemajuan nasional.
Perubahan dari Negara agraris menuju Negara industri, tentu harus diikuti dengan cukupnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh SDM. Maka dari itu, disini diperlukan suatu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengawali proses industrialisasi tersebut. IPTEK selayaknya hadir sebagai pendukung dari pengembangan industri tersebut, karena tidak mungkin suatu industri dapat maju tanpa adanya pengembangan IPTEK.
Dalam konstitusi Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tercantum dalam pasal 31 ayat (5) yakni “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Hasil amandemen keempat konstitusi tersebut mengatur mengenai tanggung jawab bagi pemerintah dan bangsa untuk memajukan IPTEK demi persatuan dan kesejahteraan bangsa. Sebuah tanggung jawab yang besar tentunya mengingat betapa pentingnya IPTEK dalam kemajuan industri suatu bangsa. Apalagi ditambah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, persatuan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Dapat juga kita lihat secara umum bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peran yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, diantaranya yakni: untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan daya saing bangsa, memperkuat kesatuan dan persatuan nasional, mewujudkan pemerintahan yang transparan, dan meningkatkan jati diri bangsa di tingkat internasional.
Melihat begitu besarnya peranan dari IPTEK ini maka sudah saatnya mahasiswa dan pemerintah kini mulai memberikan implementasi yang nyata dalam memajukan IPTEK. Dengan keberadaan kementerian riset dan teknologi dan berbagai perguruan tinggi di Indonesia maka besar harapan bagi bangsa ini untuk dapat mengembangkan IPTEK untuk kemajuan industri agar mampu bersaing dengan perkembangan industri global.
  Selama ini pengembangan IPTEK masih dianggap sebelah mata baik oleh pemerintah maupun mahasiswa. Padahal jika kita pahami lebih jauh untuk memajukan suatu Negara industri yang baik maka dibutuhkan suatu pemahaman IPTEK bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, mahasiswa dan pemerintah kini diharapkan mampu memahami akan urgensi IPTEK demi membentuk Negara industri yang sejahtera..



           

Mewujudkan Tujuan Nasional Bangsa


Sebagai suatu Negara hukum, Negara ini tentu memiliki landasan mengenai tujuan dari kehidupan bernegara Indonesia. Hal ini tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yang mana merupakan sebagai suatu bentuk grundnorm atau staatfundamentalnorm yang harus ditegakkan oleh pemerintah.
Tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yakni “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”.
Dalam redaksi Pembukaan UUD 45 alinea keempat tersebut terdapat beberapa poin penting disini yang menjadi landasan dalam menerapkan tujuan bernegara, yakni yang pertama adalah membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam kalimat tersebut, pemerintah memiliki bentuk tanggung jawab bahwa ia harus mampu melindungi seluruh masyarakat dan juga seluruh tanah air Indonesia. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah ini sangat erat kaitannya dengan pemberian jaminan keamanan dan keadilan hukum bagi setiap masyarakat Indonesia. Maka perlu adanya suatu penerapan dari supremacy of law dan equality before the law sebagai wujud langkah konkret yang harus benar-benar diterapkan oleh pemerintah dalam rangka memberikan jaminan keamanan dan keadilan.
Kemudian tujuan yang kedua adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai Negara welfare state, Indonesia hadir tidak semata-mata mengatur dan melindungi masyarakatnya saja tetapi ia juga harus mampu menjamin kesejahteraan bagi setiap penduduknya. Maka dari itu, founding fathers kita telah merumuskan dalam pembukaan UUD 45 tersebut bahwa pemerintah perlu memberikan kesejahteraan dan kecerdasan bagi bangsa secara menyeluruh agar bangsa ini mampu hidup mandiri dan sejahtera.
Kemudian tujuan yang terakhir adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia. Indonesia yang merupakan bagian dari bangsa-bangsa dunia internasional selayaknya hadir sebagai Negara yang membawa perdamaian dan menjaga ketertiban Negara-negara di dunia. Pemerintah memiliki tanggung jawab tidak hanya di dalam negeri tetapi juga terhadap perdamaian di dunia internasional. Bantuan pasukan perdamaian Indonesia untuk PBB dan memberikan bantuan arbitrasi kepada Negara-negara yang sedang bersengketa maupun konflik merupakan langkah yang tepat dalam mewujudkan tujuan Negara ini yakni ketertiban dunia.
Founding fathers Negara kita telah merumuskan mengenai tujuan apa yang harus dicapai oleh bangsa ini. Sekarang merupakan tanggung jawab kita bersama baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut. jangan sampai tujuan Negara ini hanya menjadi utopia belaka yang tak akan mungkin untuk terwujud, tetapi kita harus sudah mulai melangkah dan menyusun strategi yang tepat dalam mewujudkan tujuan Negara Indonesia.

Sabtu, 05 Mei 2012

Menjamin Kesejahteraan Melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)


Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dilihat bahwa kesejahteraan erat kaitannya dengan terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial masyarakat. Kesejahteraan tidak semata-mata berkaitan dengan material saja tetapi terdapat kebutuhan spiritual dan sosial yang juga harus terpenuhi.   
Pada dasarnya Pemerintah memiliki tanggung jawab sebagai pengatur untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut demi mewujudkan kesejahteraan sosial. Dapat dilihat dalam preambule UUD 45 alinea keempat bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,…”.
            Dari Preambule UUD 45 di atas dapat dilihat bahwa Pemerintahan Negara Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan masyarakat menjadi suatu bentuk tanggung jawab pemerintah yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itulah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state). Welfare state merupakan bentuk dimana Negara turut campur dalam mengatur kepentingan-kepentingan privat masyarakatnya dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan bersama. Kepentingan-kepentingan yang sebelumnya berada di tangan rakyat kini diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah disini menjadi pengatur dari berbagai sektor-sektor penting yang berkaitan erat dengan  kesejahteraan umum.
            Maka subsidi disini sebagai bentuk bantuan pemerintah, selayaknya dapat hadir untuk dapat memberikan kesejahteraan umum dan dapat memenuhi kebutuhan baik itu material, spiritual dan sosial. Akan lebih tepat jika saat ini pemerintah dapat mengarahkan subsidi kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Peraturan perundang-undangan baru yang baru terbentuk  yang mengatur mengenai BPJS ini, diharapkan menjadi suatu batu loncatan bagi pemerintah untuk dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 pasal 3 bahwa “BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa BPJS memberikan jaminan dalam kebutuhan hidup masyarakat. Bahkan BPJS juga memiliki ruang lingkup yakni jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Perlu diketahui bahwa banyak permasalahan masyarakat kelas bawah saat ini mengalami kesulitan dalam memperoleh kesehatan berikut juga dengan jaminan hidup mereka ketika di hari tua disaat mereka tidak lagi produktif. Maka karena itulah, penting disini bagi pemerintah untuk mengarahkan subsidi kepada penyegeraan penerapan dari Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS ini. Hal ini diharapkan bahwa pemerintah pada akhirnya akan mampu memberikan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=487864&pop=1&page=262&Itemid=50

Senin, 16 April 2012

Penerapan Techno Constitution



             “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia” Pasal 31 ayat (5) Undang-undang Dasar 1945.
Konstitusi Undang-undang Dasar 1945 adalah peraturan tertinggi bangsa Indonesia yang menjadi landasan atau dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dapat kita lihat pada pasal 31 ayat (5) tersebut diterangkan bahwa pemerintah diberikan wewenang oleh konstitusi untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemajuan peradaban dan kesejahteraan. Pernyataan yang selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disini dijelaskan bahwa pemerintah mengemban kewajiban merumuskan arah, prioritas, dan kerangka kebijakan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi secara nasional. 
Hal ini tentu masuk akal jika kita perhatikan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangan suatu bangsa. Apalagi ditambah dengan menjunjung tinggi nilai agama, persatuan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
            Pada implementasinya di Negara Indonesia sudah dibentuk suatu kementerian riset dan teknologi sebelum pasal mengenai teknologi itu dicantumkan dalam konstitusi pada tahun 2002.  Tugas dari kementrian riset dan teknologi ini adalah untuk menyelenggarakan urusan di bidang riset, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan Negara. Selain itu kementerian ini memiliki fungsi yakni:
  1. Perumusan dan penetapan kebijakan  di bidang riset dan teknologi;
  2. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang riset dan teknologi;
  3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Riset dan Teknologi; dan
  4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi.
Tetapi pada faktanya tugas dan fungsi dari kementerian Riset dan Teknologi ini belum dapat menerapkan sepenuhnya amanah dari Konstitusi pada pasal 31 ayat 5 tersebut. Pengembangan teknologi digunakan semata-mata untuk kepentingan pemerintah dan belum berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Seharusnya terdapat tindakan atau kegiatan langsung terhadap masyarakat mengenai pengembangan terkait teknologi yang ada di masyarakat, sehingga tercapai suatu efisiensi dalam berbagai kegiatan ekonomi maupun pendidikan dalam masyarakat. Hal yang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah dapat memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Yakni mengarahkan tanggung jawab tersebut kepada sektor-sektor ekonomi demi mengembangkan kesejahteraan umum.

Jika kita pahami lebih lanjut mengenai pasal tersebut, maka dapat kita perhami bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi penting untuk diatur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk pasal ini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk Techno Constitution yang mana terdapat pengaturan mengenai teknologi di dalam peraturan konstitusi suatu Negara. Pada kenyataannya tidak banyak Negara yang mengatur mengenai techno constitution ini di dalam konstitusinya. Beberapa Negara di Eropa dan bahkan Amerika pun tidak mengatur mengenai hal ini dalam konstitusi negaranya. Padahal jika kita lihat lebih dalam bahwa Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah unsur utama dalam kemajuan suatu negara, demi terbentuknya masyarakat berbasis pengetahuan.  Dapat kita lihat secara umum, ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan negara, diantaranya yakni: (a) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, (b) Meningkatkan daya saing bangsa, (c) Memperkuat kesatuan dan persatuan nasional, (d) Mewujudkan pemerintahan yang transparan, dan (e) Meningkatkan jati diri bangsa di tingkat internasional. Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan dapat mendayagunakan sumber daya alam untuk menunjang kesejahteraan dan meningkatkan kualitas kehidupannya.
Pengaturan mengenai techno constitution ini tidak hanya berlaku di Indonesia, Negara lain yang mengatur mengenai techno constitution ini selain Indonesia adalah Portugal. Negara Portugal mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah adalah hal mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang ekonomi dan sosial. Disini dapat kita lihat terdapat perbedaan antara pengkodifikasian antara Indonesia dan Negara Portugal mengenai techno constitution. Jika kita lihat pada konstitusi Portugal pasal 81 pada part II section I menentukan bahwa di bidang ekonomi dan sosial, tugas pokok Negara adalah (in the economic and social sphere the prime duties of the state are): Huruf (m) “untuk mengembangkan kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong atau mendukung tahap pembangunan nasional selanjutnya (to draw up a scientific and technological policy that furthers the country’s development). Pada konstitusi Portugal ini pengaturan mengenai techno constitution berada di bagian ekonomi dan sosial. Berbeda halnya dengan pengaturan techno constitution di Indonesia yang mana berada pada bab pendidikan dan kebudayaan.
      Menurut saya disini terdapat perbedaan sudut pandang, dimana Negara Portugal lebih melihat kepentingan mengenai techno constitution berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat, sehingga hal tersebut diatur sebagai subpasal dari bentuk konstitusi ekonomi yang dimiliki Portugal pada pasal 81 tersebut. Lain halnya dengan Indonesia yang menganggap pengaturan techno constitution  ini berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan, dan terpisah dengan bentuk konstitusi ekonomi yang dimiliki Indonesia yakni pada pasal 33 mengenai bab Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Namun meskipun diatur secara terpisah, tetapi pada dasarnya dapat dikaitkan dengan perekonomian dan kesejahteraan sosial karena dapat kita lihat pada pasal  31 ayat 5 ini terdapat kalimat “...untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Sehingga disini Indonesia juga berpandangan bahwa pengaturan mengenai techno constitution memberikan tujuan akhir untuk kesejahteraan umat manusia.
          Maka dapat saya simpulkan disini bahwa inti penerapan dari bentuk techno constitution ini bertujuan kepada dua hal yakni:
1.      Sebagai pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk pengembangan teknologi suatu negara
2.      Membangun perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial
Bahkan pada akhirnya penerapan teknologi ini tidak hanya berkaitan dengan  pendidikan dan ekonomi saja, tetapi bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. seperti sebagai perlindungan keamanan Negara dan pengembangan teknologi terhadap penyelesaian kasus-kasus hukum yang berkembang.
techno constitution pun tidak dapat lepas dari nilai-nilai agama, seperti konstitusi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Bahwa teknologi itu erat kaitannya dengan agama sebagai landasan dasar berpikir secara filosofis maupun dalam penerapan teknologinya yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Oleh karena itu, penerapan techno constitution sangatlah penting untuk diatur dalam konstitusi suatu Negara. Hal ini merupakan landasan bagi pemerintah untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun peradaban serta kesejahteraan umat. Dengan tanpa adanya pengaturan mengenai techno constitution  bagi suatu Negara maka Negara tersebut tidak akan melakukan pengembangan teknologi sehingga dapat diperkirakan pada akhirnya Negara tersebut akan tertinggal baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesejahteraan, kemanan dan pertahanan Negara. Pentingnya akan teknologi terhadap suatu bangsa tidak dapat dipungkiri lagi, maka penerapan techno constitution  ini sangatlah penting diatur pada peraturan tertinggi suatu Negara atau Konstitusi sebagai wujud dari peran pemerintah dan masyarakat dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.