Jumat, 25 November 2011

Implementasi Negara Hukum di Indonesia


Negara Hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari enampuluh tahun lamanya kualifikasi sebagai Negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam penjelasan Undang-undang Dasar. Dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan Negara dikatakan “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat)”. Selanjutnya dijelaskan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.” Sekian puluh tahun kemudian konsep tersebut lebih dipertegas melalui amandemen keempat dan dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi, yaitu bab I tentang “Bentuk dan Kedaulatan”. Dalam pasal 1 ayat 3 ditulis “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
            Dari amandemen-amandemen dibuktikan secara jelas, Undang-undang Dasar Negara Indonesia tidak statis, melainkan memiliki dinamika. Amandemen keempat tersebut dapat dibaca sebagai keinginan bangsa Indonesia untuk lebih mempertegas identitas negaranya sebagai suatu Negara hukum[1]. Negara hukum di Indonesia berjalan bersamaan dengan prinsip demokrasi ia terbukti dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-undang Dasar”. Hal ini membuktikan bahwa selain sebagai Negara Hukum Indonesia juga menganut Negara demokrasi. Kedua konsep Negara tersebut berjalan bersama di Negara Indonesia sebagai sistem pemerintahan yang ideal. Dimana masyarakat yang mengatur hukum tersebut dan masyarakat pula yang tunduk dalam peraturan hukum yang mereka rancang.
            Pada dasarnya dalam negara demokrasi, konsep Negara hukum merupakan suatu hal mutlak, ia dibutuhkan demi menyelaraskan keadilan dalam kebebasan berdemokrasi. Penyelenggaraan-penyelenggaraan politik perlu diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang jelas. Hukum adalah pilar dalam mengawal Negara demokrasi.
          Penyelenggaraan hak-hak politik dalam demokrasi pada dasarnya menimbulkan gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang Dasar itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan Negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan-gagasan ini dinamakan konstitusionalisme (constitusionalism) sedangkan Negara yang menganut gagasan ini dinamakan constitusional state atau rechtsstaat yaitu Negara Hukum.
            Dalam gagasan konstitusionalisme tidak hanya mengandung pemisahan antara kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif semata namun ia mempunya fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak-hak asasi dari warga negaranya. Undang-undang Dasar dianggap sebagai perwujudan hukum yang tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil : “government by laws, not by men” (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan oleh manusia)[2]
Maka dari itu, disini saya akan membahas lebih lanjut mengenai berbagai konsep yang diberikan oleh para ahli dalam membentuk Negara hukum yang sebenarnya, membentuk suatu kedaulatan dimana hukum menjadi pilar utama dalam menyelenggarakan pemerintahan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejarah Pemikiran Negara Hukum
            Munculnya konsep teori Negara hukum tidak lepas dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yakni di masa sejarah dahulu ketika zaman Yunani kuno. Pemikir pertama mengenai Negara hukum sebenarnya sudah sangat lama. Cita Negara hukum untuk pertama sekali dikemukakan oleh Plato yang diungkapkan dalam tiga bukunya yakni pertama politeia (the republica) yang ditulisnya ketika ia masih muda; kedua, Politicos (stateman); dan ketiga Nomoi (the law). Dalam buku-bukunya tersebut dia sudah menganggap adanya hukum untuk mengatur warga Negara. Sehingga ia menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
            Pemikiran dari Plato kemudian dilanjutkan oleh muridnya yakni Aristoteles. Ia menyatakan ada tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi yakni pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat bukan atas paksaan-tekanan[3].
            Aristoteles juga merumuskan Negara sebagai Negara hukum yang didalamnya terdapat sejumlah warganegara yang ikut serta dalam permusyawaratan Negara (Acclesia). Yang dimaksudkan dengan Negara hukum disini oleh aristoteles adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warganegaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warganegara dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara  yang baik. Peraturan sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminakan keadilan bagi pergaulan antara warganegaranya. Maka menurutnya yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil yang tertuang dalam peraturan hukum sedangkan penguasa hhanya memengang hukum dan keseimbangan saja.[4]
            Pemikiran awal pada zaman yunani kuno ini memang masih merupakan konsep awal bagaimana membentuk Negara yang seharusnya. Pemikiran tersebut masih terlalu ideal dan umum maka tidak memberikan mekanisme secara rigid dalam mengembangkan konsep Negara hukum. Hal ini tidak terlepas karena pada saat zaman yunani kuno Negara yang dimaksud masih merupakan sebuah polis yakni kota-kota kecil sehingga pengaturan masyarakat di zaman itu belum memberikan persoalan yang kompleks seperti pada saat ini.
           
Kedaulatan Hukum
            Sebelum kita memahami mengenai konsep Negara hukum maka terlebih dahulu dapat kita pahami bahwa dasar berpikir dari konsep Negara hukum sangat erat kaitannya dengan pemikiran-pemikiran yang menganggap bahwa kedaulatan Negara itu berada pada hukum. Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia[5].
            Bentuk kedaulatan hukum dalam kehidupan bernegara merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Hukum sebagai aturan dasar dimana terdapat rambu-rambu dan arahan bagaimana masyarakat, pemimpin Negara, dan berbagai organ Negara seharusnya dapat bertindak dan bekerja. Hukum disini sebagai pengawal kehidupan bernegara, ia hidup dan dibangun berdasarkan suatu contract social masyarakat dimana mereka membuat aturan-aturan yang seharusnya ditaati. Disana tersimpan harapan dan cita-cita masyarakat mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan dalam kehidupan bernegara. Krabe mengemukakan “Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukkum membawahkan Negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang secara (impersonal)”.[6]
            Wujud teori kedaulatan hukum merupakan dasar pemikiran awal dimana Negara selayaknya memiliki kedaulatan hukum yang kuat. Maka pemikiran dasar dari teori kedaulatan hukum ini memunculkan berbagai konsep-konsep Negara hukum yang lebih modern.

ABAD XIX
            Di abad XIX freidrich Julius Stahl (eropa continental dengan civil law system) merumuskan unsur-unsur Negara hukum (rechsstaat) yang banyak diilhami oleh Immanuel Kant, sebagai berikut:
1.      Perlindungan HAM
2.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan demi jaminan hak itu
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
4.      Peradilan administrasi dalam perselisihan
Kemudian pada saat yang hampir sama muncul pula konsep Negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon.
1.      Supremasi hukum (tidak ada kesewenang-wenangan atau seseorang hanya dapat dihukum jika melanggar hukum)
2.      Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law)
3.      Terjaminnya HAM oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan[7]
Terdapat perbadaan konsep antara keduanya Freidrich Julius Stahl merupakan sarjana yang berasal dari Negara dengan sistem civil law dan A.V. Dicey merupakan sarjana dengan pemikiran yang berasal dari Anglo saxon. Keduanya berada di dua kutub hukum yang berbeda namun terdapat suatu kesamaan, dimana penjabaran prinsip-prinsip dari konsep Negara hukum, keduanya sepakat bahwa ia harus dapat menjamin Hak Asasi Manusia dan mewujudkan suatu supremasi hukum yang kuat. Sehingga pada akhirnya konsep Negara hukum tidak hanya menjadi pandangan ideal semata melainkan ia dapat terwujud dengan menjamin kedaulatan hukum dan perlindungan hak-hak atas manusia.

Nomokrasi Islam
            Selanjutnya dalam agama Islam, terdapat konsep Negara hukum yang dirumuskan oleh Prof. Dr. Tahir Azhari S.H. dimana beliau merumuskan menjadi Sembilan prinsip-prinsip dasar Nomokrasi Islam atau Negara hukum.
            Nomokrasi Islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut:
1.      Prinsip kekuasaan sebagai amanah
2.      Prinsip musyawarah (musyawarat)
3.      Prinsip keadilan
4.      Prinsip persamaan
5.      Prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia
6.      Prinsip peradilan bebas
7.      Prinsip perdamaian
8.      Prinsip kesejahteraan
9.      Prinsip ketaatan rakyat[8]
Kesembilan pokok prinsip tersebut tercantum dalam Al-Qur’an dan diterapkan oleh Sunnah Rasulullah. Kesembilan prinsip tersebut terwujud dalam pemerintahan Nabi Muhammad SAW di kota Madinah, yang kemudian membentuk suatu konstitusi tertulis pertama di dunia yang terwujud dalam Piagam Madinah.
Suatu konsep yang berbeda dengan anggapan bahwa konsep Negara Islam adalah Negara Teokrasi yakni Negara berdasarkan atas kekuasaan Tuhan. Melainkan di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Negara hukum yang dapat dipelajari sebagai konsep untuk mengimplemtasikannya pada pemerintahan saat ini.

Indonesia Sebagai Negara Hukum
            Sebagai Negara yang lahir pada zaman modern, maka Indonesia juga menyatakan diri sebagai Negara hukum. Indonesia membentuk suatu dasar pemerintahannya berdasarkan kedaulatan hukum seperti yang dijelaskan pada uraian di  atas. Konsep-konsep pemikiran barat dan Islam juga memiliki pengaruh dalam konsep Negara hukum yang diterapkan di Indonesia.  Ketentuan Indonesia sebagai Negara hukum ini dapat dilihat dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasan UUD 1945.
1.      Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 memuat dalam alinea pertama kata “peri-keadilan”, dalam alinea kedua istilah “adil”, serta dalam alinea keempat perkataan-perkataan “keadilan sosial” dan kemanusiaan yang adil”, semua istilah-istilah ini berindikasi pada pengertian Negara hukum karena bukankah salah satu tujuan hukum itu mencapai keadilan. Kemudian dalam pembukaan UUD 45 alinea keempat ditegaskan “….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”. Penganutan pahan konstitusionalisme atau sistem konstitusional, merupakan prinsip lebih khusus dari pada prinsip Negara hokum
2.      Batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 ayat 3), kemudian “presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-undang Dasar (pasal 4). Ketentuan ini berarti bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam UUD.
3.      Penjelasa UUD 1945, yang merupakan penjelasan otentik dan menurut hukum tata Negara Indonesia mempunyai nilai yuridis, dengan huruf besar menyebutkan: “Negara Indonesia berdasarkan hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Ketentuan terakhir ini memperjelas, apa yang secara tersirat dan tersurat telah dinyatakan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

Dari perumusan dalam Undang-undang Dasar tersebut jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 menganut prinsip-prinsip Negara hukum yang umum berlaku.
Prinsip bahwa Indonesia suatu Negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua pemikiran yaitu:
Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam Negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif. Jadi, suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat. Pemikiran kedua ialah bahwa sistem pemerintahan Negara memerlukan kekuasaan (power/macht) namun tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang berdasarkan atas hukum.
Sjachran Basah dalam kaitan apa yang dikemukakan di atas berpendapat:
“arti Negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. Paham kedaulatan hukum. Paham itu adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum…… kemudian hal di atas itu dikontradiktifkan dan dipisahkan secara tegas antara Negara hukum pada satu pihak dan Negara kekuasaan pada pihak lain yang dapat menjelma seperti dalam bentuk diktator, atau bentuk lainnya semacam, yang tidak dikehendaki apabila dilaksanakan di persada pertiwi ini.”
            Pada akhirnya dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum maka konstitusi kita UUD 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi yang supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[9]

Negara Hukum dan Demokrasi Indonesia
            Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” dan Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dalam kedua aturan tersebut terdapat dua ketentuan yakni kedaulatan berada di tangan rakyat dan konsep Negara hukum. Dalam pengertian modern, Negara hukum itu tidak lain adalah Negara konstitusional atau constitutional state.
            Dengan demokrasi, ruang kebebasan dibuka lebar, tetapi kebebasan itu memerlukan aturan, sehingga dapat terselenggara dengan teratur. Karena itu peranan hukum sangat menentukan dan bahkan berfungsi sebagai pengimbang terhadap kebebasan. Dengan dasar pemikiran itulah maka pengertian demokrasi tidak dapat dipisahkan dan bahkan harus dipandang berpasangan dengan konsep Negara hukum, rechsstaat.
            Sebaliknya Negara hukum rechsstaat  atau the rule of law itu sendiri yang ideal ialah Negara hukum yang demokratis (democratische reachtsstaat). Suatu Negara hukum dapat saja dibangun tanpa dasar demokrasi , tetapi apabila hukum yang ditegakkan itu tidak dibuat berdasarkan prinsip-prinsip dalam demokrasi, maka Negara hukum yang demikian bukanlah Negara hukum yang demokratis.
            Dengan demikian maka terdapat hubungan yang sangat kuat antara demokrasi dan Negara hukum. Keduanya menyatu dalam konsepsi UUD 45 mengenai kedaulatan Negara atau kekuasaan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia. Keseimbangan dan hubungan saling melengkapi di antara keduanya adalah sangat penting untuk menjamin agar gagasan Negara hukum dan demokrasi itu membuahkan hasil yang sebaik-baiknya berupa kebebasan (freedom), keadilan (justice), dan kesejahteraan (prosperity).[10]

Kesimpulan
            Konsep Negara hukum merupakan suatu bentuk Negara yang berdasarkan atas kedaulatan hukum. Hukum/peraturan memiliki kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan. masyarakat maupun pemerintah tunduk kepada hukum itu sendiri. Terdapat sebuah pendapat yang mengatakan bahwa “segala yang dilakukan oleh pemerintah itu dilarang sampai terdapat hukum yang memberinya kewenangan dan segala yang dilakukan oleh masyarakat itu boleh dilakukan sampai terdapat hukum yang melarang melakukan sesuatu”. Pendapat tersebut merupakan suatu pandangan bahwa baik pemerintah atau Negara dan masyarakat tunduk terhadap hukum.
            Hukum tercipta bukan semata-mata untuk kepentingan penguasa atau orang-orang tertentu saja namun ia harus tercipta atas tujuan kemanfaatan, keadilan, dan penegakkan hukum yakni dengan memberikan kebaikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hukum harus memberikan tujuan tersebut baik secara moral, kesusilaan, ajaran agama, dan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum di Negara Indonesia tidak akan mungkin dapat tercipta bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan adat kebangsaan Indonesia. Keduanya kerap mempengaruhi peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia.
            Bentuk Negara hukum yang ada di Indonesia nyata tercantum dalam peraturan konstitusi Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 disebutkan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, pada butir tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang mana kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi ada aturan-aturan tegas di dalamnya yakni Undang-undang Dasar. Sehingga sekalipun kedaulatan adalah milik rakyat tetapi proses pelaksanaannya diatur berdasarkan nilai-nilai dan aturan-aturan hukum  dalam konstitusi UUD 45.
            Terdapat kesenimbangan hubungan antara konsep Negara hukum dan konsep Negara demokrasi, sebuah teori kedaulatan hukum dan rakyat. Kedua konsep ini diterapkan secara bersamaan di Negara Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal di 1 ayat 2 konstitusi seperti penjelasan di atas. Bahwa Negara Indonesia menganut kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Memang pada dasarnya kedua konsep ini tidaklah saling bertentangan, melainkan keduanya saling mengisi dimana tidak mungkin tercipta suatu Negara hukum tanpa adanya kedaulatan rakyat di dalamnya. Begitu pula dengan konsep Negara demokrasi, konsep tersebut tidak akan dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya supremasi hukum yang kuat di dalamnya. Konsep pemikiran ini bukanlah suatu hal yang baru. Pandangan mengenai Negara hukum dan demokrasi saling mengisi dalam unsur-unsur dan penjabaran cirri-ciri kedua konsep tersebut. Maka lebih tepatnya Hukum adalah pilar bagi demokrasi, begitu pula dengan Negara hukum, ia tidak akan berjalan baik tanpa adanya partisipasi rakyat dalam merancang hukum yang sesuai dengan masyarakat yang diatur.
            pada pasal 1 ayat 3 UUD 45 disebutkan juga bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum” tambahan ayat ini merupakan hasil dari amandemen ke-3 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstaat). Negara yang memiliki aturan-aturan dan kedaulatan hukum yang kuat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum sangat erat dengan kaitannya dengan rule of law, aturan hukum sehingga tidak boleh ada kekuatan lain yang berada di atas hukum itu sendiri demi tercapainya suatu tertib hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
            Negara hukum adalah konsep bernegara yang ideal, apalagi jika disandangkan dengan Negara demokrasi. keduanya dapat memberikan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia sepanjang dijalankan sesuai dengan seharusnya. Negara Indonesia menganut kedua konsep tersebut, yakni antara konsep Negara hukum dan demokrasi.
            Meskipun konsep Negara hukum menjadi dasar dalam pemerintahan Indonesia namun praktik dari implementasi ini masih belum terwujud dengan baik. Bentuk-bentuk lemahnya supremasi hukum, ketidakbermanfaatan hukum, hukum tidak mewakili rasa keadilan masyarakat, hingga maraknya tindakan anarkis dan main hakim sendiri di masyarakat Indonesia adalah wujud dari buruknya implementasi pemerintah dalam menerapkan konsep Negara hukum. Konsep Negara hukum hanya menjadi retorika dan idealisme semata, tidak dapat diimplementasikan dengan seharusnya. Hal ini merupakan tugas besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Negara hukum jangan hanya menjadi suatu aturan yang tidak dijalankan namun ia harus dapat dijalankan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Demi terciptanya suatu masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.



















[1] Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Gentapublishing, 2009
[2] Dasar-dasar ilmu politik, Prof Miriam Budiarjo, Gramedia, 1998
[3] Negara Hukum Indonesia, Azhary, hal 19-21, UI Press 1995
[4] Ilmu Negara, Moh, Kusnardi, SH, Prof. Dr. Bintarn R. Saragih, MA, Gaya media pratama, 2008
[5] Ilmu Negara, Soehino,S.H hal 156, Penerbit Liberty Yogyakarta
[6] Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Hestu Cipto Handoyo, SH. M.Hum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003
[7] Hukum Tata Negara I, Narainuun Mangungsong, SH, M.Hum, 2010
[8] Negara Hukum, Prof. Dr. H. Tahir Azhary, SH. Kencana prenada, 2007
[9] Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Drs. H. Nukhthoh Arfawie Kurde S.H., M.Hum, Pustaka Pelajar, 2005
[10] Konstitusi Ekonomi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Buku Kompas, 2010

Kamis, 27 Oktober 2011

Menciptakan Negara Partitokrasi



            Reshuffle kabinet yang dilakukan oleh presiden SBY beberapa waktu lalu masih menimbulkan polemik di masyarakat. Saat ini, masyarakat masih mempertanyakan terkait mengenai kredibilitas menteri-menteri dan wakil-wakil menteri yang ditunjuk oleh presiden SBY. Terdapat beberapa menteri yang memang terlihat cakap dan sesuai dengan kemampuannya masuk dalam kabinet pemerintahan namun tidak kurang beberapa menteri juga kerap dipertanyakan kredibilitasnya. Beberapa menteri bahkan masih berasal dari partai politik yang sedang berkuasa. Menteri Hukum dan HAM misalnya, jabatan menteri yang sebelumnya dijabat oleh Patrialis Akbar, kini jabatan tersebut dipegang oleh Amir Syamsuddin yang kita ketahui beliau adalah kader setia dari partai Demokrat. Tidak hanya itu saja, kabinet pemerintahan SBY juga terlihat gemuk dengan adanya jabatan wakil-wakil menteri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang berasal dari partai politik. Maka tidak  heran jika presiden kini sepertinya ingin menciptakan suatu Negara Partitokrasi.
            Wujud dari Negara Partitokrasi adalah dengan banyaknya orang-orang partai yang berada di tampuk kekuasaan pemerintahan, Ia masuk menduduki kekuasaan untuk kepentingan kelompok partainya saja. Hal ini merupakan sebagai bentuk Oligarki modern dimana Negara hanya dipimpin oleh sekelompok-sekelompok orang yang berkepentingan untuk kelompoknya masing-masing dan bukan untuk kepentingan rakyat sama sekali. Parpol masuk dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka bekerjasama dalam tiga kekuasaan tersebut untuk kepentingan golongan partainya sendiri-sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Negara kita memang benar-benar mengarah kepada Negara Partitokrasi, bukan Negara demokrasi apalagi Negara hukum.
            Dalam menerapkan Demokrasi memang pada kenyataanya partai memiliki kekuatan yang besar. Partai adalah wujud dari aspirasi-aspirasi rakyat yang kemudian diwakilkan melalui perwakilan-perwakilan partai di pemerintahan. Ia merupakan perwakilan dari kedaulatan rakyat yang dijamin oleh Konstitusi. Namun yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah kredibilitas partai saat ini benar-benar baik? Apakah partai benar-benar mewakili aspirasi-aspirasi dan kepentingan masyarakat? Saat ini partai cenderung hanya mementingkan kekuasaan semata, hal tersebut dibuktikan dengan lobi-lobi politik yang terjadi di pemerintahan dalam pemilihan menteri oleh presiden. Maka bukan suatu hal yang ganjil apabila presiden melakukan reshuffle kabinet tetapi tetap menunjuk menteri-menteri dan mempertahankan menteri-menteri yang berasal dari partai politik meskipun ia bermasalah. Partai politik hari ini hanya memikirkan mengenai mempertahankan kekuasaan  sekarang dan bagaimana mereka akan mendapatkan kekuasaan selanjutnya.
            Demi menjaga demokrasi di Indonesia dan menjaga Indonesia tetap sebagai wujud dari Negara Hukum, seharusnya partai-partai politik sadar betul untuk dapat membenahi partainya masing-masing. Jangan sampai partai hanya sebagai alat dalam meraih kekuasaan semata tanpa memperdulikan kepentingan-kepentingan rakyat. Partai selayaknya dapat sejalan sesuai dengan fungsinya dalam demokrasi, presiden seharusnya juga tidak perlu tersandera oleh perdagangan-perdagangan politik di pemerintahan. Hak prerogatif presiden untuk menunjuk menteri-menteri sebagai pembantunya harus dipilih sesuai dengan kemampuannya dengan pertimbangan subyektif presiden, tanpa adanya intervensi-intervensi dari partai politik. Winston Churchill pun pernah mengatakan “my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begin” (kesetiaan saya terhadap partai saya berakhir ketika kesetiaan saya terhadap Negara saya dimulai). Politisi seharusnya dapat memahami pendapat ini, dan mengimplementasikannya dengan baik, Presiden juga tidak perlu sampai tersandera oleh partai politik, beliau seharusnya sadar bahwa sesungguhnya kesetiaannnya  adalah untuk kepentingan Negara dan seluruh bangsa Indonesia bukan untuk kepentingan partainya. 

Sabtu, 22 Oktober 2011

Dasar Hukum Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam


            Penjajahan yang terjadi di bumi Indonesia yang dilakukan oleh bangsa Portugis, Belanda, dan Jepang menjadi bukti bahwa Sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangatlah melimpah. bangsa-bangsa asing berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan alam yang berlimpah milik Indonesia. Bahkan hingga kini banyak Negara dan investor-investor asing yang ingin memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan berusaha melakukan negosiasi-negosiasi investasi jangka panjang dengan tujuan agar mereka dapat meraih keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya alam Indonesia.
            Para Founding Fathers kita sebenarnya sudah mengetahui akan melimpahnya sumber kekayaan alam di Indonesia, karena itu demi mencegah penyalahgunaan dan berbagai bentuk Neokolonialisme  maka mereka menyusun suatu dasar hukum yakni Konstitusi Undang-undang Dasar 45 yang tersusun pada pasal 33 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Kaitannya pada pasal ini yakni Negara harus dapat menjaga cabang-cabang produksi milik Negara yang penting, untuk tetap dikuasai oleh Negara. Kepemilikan asing pada cabang-cabang produksi Negara tidak boleh melebihi kepemilikan Negara. Negara harus tetap menjadi penguasa dalam mengatur dan membuat keputusan terkait sebagai penguasa terhadap cabang-cabang produksi tersebut. Selanjutnya pada pasal 33 ayat (3) UUD 45 menyebutkan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Disini Negara juga harus menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun disini obyeknya adalah kekayaan alam dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pemanfaatan akan sumber kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sepantasnya digunakan sepenuhnya untuk rakyat Indonesia. Sehingga negosiasi-negosiasi yang bersifat investasi pada sektor-sektor sumber daya alam Indonesia yang tidak memberikan manfaat kepada kemakmuran rakyat dapat dibatalkan melalui peraturan dasar hukum ini.
            Dengan tegasnya dasar-dasar hukum penguasaan Negara atas kekayaan alam Indonesia di atas, maka pemerintah saat ini seharusnya berani melakukan renegoisasi setidaknya terhadap dua perusahaan tambang emas terbesar yakni PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. PT Freeport Indonesia selama ini hanya membayar royalty emas 1% dan tembaga 1,5%. Sedangkan peraturan pemerintah No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menerapkan tarif royalty emas dan tembaga 3,75%  dan 4% dari harga jual kali tonasi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pertentangan hukum antara peraturan dan kenyataannya, sehingga pemerintah diharapkan dapat segera melakukan renegoisasi perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan PT Freeport Indonesia. Pembagian atas royalty harus jelas sesuai dengan undang-undang yang berlaku demi memberikan kemanfaatan, keadilan, dan supremasi hukum.
            Dasar-dasar hukum yang tertuang dalam Konstitusi yang memberikan ketegasan mengenai penguasaan Negara atas kekayaan alam Indonesia seharusnya dijadikan acuan dalam melakukan perjanjian kerjasama, jangan sampai perjanjian tersebut justru merugikan bangsa Indonesia. Pemerintah harus sadar bahwa sesungguhnya sumber daya alam itu hanya digunakan seluruhnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
            

Senin, 10 Oktober 2011

Cita-cita Konstitusi yang Gagal Terwujud


Ledakan bom di Gereja Kepunton, Solo, Jawa Tengah yang terjadi beberapa hari yang lalu kini membuat masyarakat khawatir. Mereka khawatir akan ketentraman hidupnya dari bahaya teror bom yang seakan tiada habisnya terjadi di negeri Indonesia. Tindakan teror yang dilakukan oleh segelintir ekstrimis yang mengatasnamakan agama ini kerap selalu menjadi momok bangsa Indonesia yang nampaknya seperti tidak akan pernah ada akhirnya. Badan Intelijen Negara bahkan disini terlihat seperti kecolongan, mereka seakan tidak sigap dan tidak menyadari akan adanya aksi bom bunuh diri tersebut. Negara saat ini terlihat seperti mengalami kesulitan dalam usahanya untuk menciptakan perdamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Usaha-usaha mereka cukup banyak namun mereka tidak dapat mencegah konflik-konflik horizontal yang selalu terjadi di Indonesia. Keadilan dan perdamaian sulit terwujud di negeri ini, bahkan pemerintahpun tidak dapat menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya demi menjaga perdamaian dan keadilan.
            Dalam preambule konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia sebenarnya sudah dijamin mengenai keadilan dan perdamaian. Ia tercantum pada preambule UUD 45 alinea ke-4 yang menyebutkan bahwa “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Kalimat perdamaian abadi dan keadilan sosial disini menjadi sebuah landasan penting Negara yang menjadi dasar dalam mewujudkan tujuan-tujuan Negara Indonesia yang tercantum pada kalimat sebelumnya yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia. Amanat cita-cita konstitusi tersebut diwujudkan dengan kalimat perdamaian abadi, dimana bangsa ini seharusnya dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai tanpa membeda-bedakan suku, agama dan ras.
            Selanjutnya pada pasal 29 ayat 2 UUD 45 menyebutkan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kalimat “Negara menjamin” disini menjelaskan bahwa negara seharusnya dapat melindungi dan menjaga tiap-tiap masyarakat Indonesia dalam memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing, tanpa adanya diskriminasi dan serangan-serangan bahkan ancaman yang dapat merusak perdamaian.
Negara disini bertanggung jawab atas ketidaknyamanan yang terjadi bagi jemaat minoritas gereja diseluruh Indonesia, terutama di Solo. Jemaat gereja di Indonesia perlunya mendapat jaminan yang sama terhadap peribadatannya. Negara tidak boleh lepas tangan terhadap mereka, bahkan konstitusi sudah menjaminnya tanpa terkecuali bahwa ini adalah tanggung jawab Negara. Negara selayaknya dapat mewujudkan cita-cita konstitusi tersebut dengan menjaga dan melindungi tiap-tiap penduduknya meskipun itu kelompok minoritas, demi tegaknya perdamaian dan keadilan.
Masyarakat disini juga perlu sadar, bahwa mereka harus memulai untuk belajar bagaimana cara bertoleransi dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia. Masyarakat harus bersikap arif dan bijak dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia. Kita harus sadar bahwa perbedaan itu akan menjadi suatu kekayaan jika bangsa ini menjadi dewasa dan menghargai toleransi perbedaan tanpa adanya penghinaan dan penistaan dalam berbagai bentuk demi terwujudnya cita-cita konstitusi UUD 45 yakni perdamaian abadi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
             


             

Mencegah Korupsi dari Akarnya


Tindak pidana korupsi yang merupakan suatu wujud extraordinary crime,  yang dilakukan oleh pejabat Negara, meruntut pada suatu siklus yang seakan tak akan pernah terputuskan. Ia hidup dan menyebar ke berbagai lini penyelenggaraan Negara dan siap untuk menyedot seluruh uang-uang rakyat.
     Korupsi merupakan kata yang berasal dari bahasa latin yakni corruption  yang berarti busuk, hal tersebut menegaskan bahwa tindakan korupsi ini merupakan suatu tindakan yang sangat busuk dan tidak bermoral. Pada UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi dijelaskan pada pasal 2 yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yakni “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Dalam Undang-undang tersebut telah diatur dengan tegas mengenai tindak pidana korupsi yang menjadi sumber hukum dalam menindak pelaku korupsi. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang apakah saat ini tindak pidana korupsi dapat dikendalikan?
    Tampaknya kita sekarang harus sudah berhenti memikirkan hanya pada penegakkan hukumnya saja tetapi sekarang kita harus memulai menggali siapa yang melakukan korupsi dan dari mana akar permasalahannya. Kita ketahui bersama bahwa Korupsi dilakukan oleh pejabat Negara yang mana mereka dipilih oleh rakyat melalui wakil-wakil dari partai politik. Jadi, dapat kita lihat bahwa partai politik memiliki peran yang cukup besar dalam keberadaan tindak pidana korupsi tersebut. Dalam upaya pencegahan tindak korupsi ini seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum segera memperhatikan akar awalnya yaitu partai politik. Karena hanya melalui partai-partai politiklah kita dapat memilih calon-calon yang akan menjadi pejabat Negara Indonesia, dan bahkan selain itu partai politik memiliki kecenderungan membutuhkan biaya keuangan yang besar dalam mempersiapkan dana pemilu demi menjaga dan meraih kekuasaan. Maka dapat diketahui peran dari partai politik terhadap korupsi dan hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa partai politik dapat meraih dana-dana politiknya melalui sumber-sumber yang tidak halal.
       Sudah saatnya kini partai politik perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat. Kinerja dan apresiasi mereka terhadap masyarakat perlu diawasi dengan baik, agar tidak timbul perwakilan-perwakilan masyarakat yang kerap mencuri uang Negara. Pemerintah pun juga layak membuat peraturan hukum yang konkret mengenai partai politik agar tidak ada kecenderungan mereka dapat melakukan tindak pidana korupsi.
      Korupsi adalah suatu kejahatan yang dapat menhancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia seharus mendapat perhatian serius baik itu dari masyarakat maupun pemerintah dan dalam hal ini partai politik selayaknya menjadi suatu bentuk kepercayaan masyarakat dimana mereka mewakili tiap-tiap masyarakat Indonesia dalam pemerintahan, ia harus melihat kenyataan masyarakat, memberikan nilai-nilai masyarakat di pemerintahan dan idealisme kuat dari partai tersebut. Tidaklah tepat jika partai politik semata-mata hanya mencari kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan mereka. Partai politik harus mampu memberikan suatu gagasan-gagasan tentang cita-cita Negara kepada masyarakat. Ia harus bekerja sesuai dengan manajemen yang baik tanpa adanya kepentingan-kepentingan yang bersifat koruptif.
            

Kamis, 08 September 2011

Nomokrasi Islam Untuk Indonesia


            Dasar Negara hukum bagi Indonesia teradapat pada kalimat Negara hukum (rechtsstaat) yang tercantum dalam konstitusi Negara Republik Indonesia pada pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa bentuk dari Negara Indonesia adalah Negara hukum dan memperjelas bahwa hukumlah yang berdaulat.
            Negara Hukum Indonesia tentunya sangat berbeda dengan Negara-negara hukum sekuler barat yang memisahkan antara kepentingan agama dan Negara. Mereka menganggap bahwa kepentingan agama adalah kepentingan individu yang tidak dapat dicampur adukkan dengan kepentingan Negara. Hal ini tentu berlainan dengan bentuk Negara Hukum di Indonesia. Peraturan mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa tercantum pada dasar Negara pancasila dan tercantum juga pada konstitusi yakni pasal 29 ayat 1 yang menyebutkan bahwa: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu tidak tepat jika kita mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara sekuler. Pemerintah tidak dapat memisahkan kepentingan-kepentingan agama dan Negara sebagi suatu hal yang berbeda. Dalam hal ini, kita dapat mengenal suatu bentuk Nomokrasi Islam sebagai bentuk Negara hukum.
            Dalam penelitian Prof. Dr. Tahir Azhari, SH, beliau merumuskan bahwa Nomokrasi Islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum, yakni: prinsip kekuasaan sebagai amanah, prinsip musyawarah, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia, prinsip peradilan bebas, prinsip perdamaian, prinsip kesejahteraan dan prinsip ketaatan rakyat. Prinsip-prinsip tersebut tercantum dalam Al-Qur’an dan diterapkan oleh Sunnah Rasulullah. Dari kesembilan prinsip tersebut terdapat beberapa nilai-nilai universal, yakni hak asasi manusia, nilai demokrasi, nilai keadilan, dan lain-lain. Kesemua prinsip ini adalah prinsip umum dalam menerapkan suatu pemerintahan kehidupan bernegara maka akan lebih tepat jika pemerintah dapat menjalankan kesembilan prinsip ini dan menjadikannya acuan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dan aturan hukum.
            Bukan suatu hal yang aneh jika saat ini banyak ormas-ormas Islam yang geram dengan prilaku pemerintah. Banyak tindakan mereka yang terkesan memberontak dan main hakim sendiri, bahkan pelaku terorismepun nampaknya tidak dapat benar-benar dihapuskan dari negeri Indonesia. Kenyataan ini tidak lain adalah bentuk ketidakpercayaan masyarakat Islam di Indonesia terhadap kinerja pemerintah. Pemerintah seakan tidak dapat menerapkan dan melindungi nilai-nilai Islam di Indonesia. Nilai-nilai Islam yang telah tertuang dalam dasar Negara Pancasila tidak terlaksana dengan baik sehingga banyak umat Islam di Negara ini yang merasa tidak terlindungi.
            Sudah menjadi tugas pemerintah sekarang untuk menerapkan dan melindungi nilai-nilai Islam. Pemerintah seharusnya sadar betul akan kondisi masyarakat yang seperti ini dan secepatnya dapat menerapkan nilai-nilai tersebut demi mengantisipasi bentuk-bentuk pemberontakan yang mengatasnamakan agama di Indonesia. Selain itu, sudah sepantasnya sekarang pemerintah juga menerapkan kesembilan prinsip Nomokrasi Islam agar terwujudnya suatu good governance yang dipercaya oleh masyarakat Islam dan pemeluk agama lain demi menjaga nilai-nilai keagamaan di Indonesia. 

Senin, 05 September 2011

Membangun Negara Hukum


               Penegakkan Hukum di Indonesia tampaknya sudah berada di titik nadir yang paling rendah. Bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum sudah cukup jelas. Hukum yang menjadi alat untuk menciptakan keadilan di masyarakat sudah tidak dapat mewakili rasa keadilan bagi masyarakat, bahkan terkadang justru menyakiti rasa keadilan masyarakat itu sendiri. Hukum kini berada dibawah pengaruh politik kekuasaan dan kepentingan-kepentingan individu sehingga wajar, jika saat ini banyak masyarakat yang sudah tidak mempercayai hukum dalam menegakkan keadilannya.
            Ketidakpercayaan masyarakat tersebut nyata terjadi di Indonesia, terlihat pada maraknya anarkisme, tindakan main hakim sendiri, bahkan timbulnya perlawanan-perlawanan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Melihat kondisi ini tentu sangatlah berbahaya mengingat Negara Indonesia merupakan Negara demokrasi yang tidak mungkin berjalan tanpa adanya supremasi hukum yang kuat.
            Konstitusi sebagai bentuk kesepakatan bersama masyarakat Indonesia yang berisi nilai-nilai luhur Negara ini tampaknya belum terwujud bagi seluruh masyarakat Indonesia. Amanat Konstitusi tentang supremasi hukum sudah sangat jelas diatur, bahkan konstitusi juga telah menetapkan hukum sebagai pilar demokrasi yang tidak dapat terpisahkan. Dalam Konstitusi UUD 45 pasal 1 ayat 2 disebutkan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, pada butir tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang mana kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi ada aturan-aturan tegas di dalamnya yakni Undang-undang Dasar. Sehingga sekalipun kedaulatan adalah milik rakyat tetapi proses pelaksanaannya diatur berdasarkan nilai-nilai dan aturan-aturan hukum  dalam konstitusi UUD 45.
            Selain itu, pada pasal 1 ayat 3 UUD 45 disebutkan juga bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum” tambahan ayat ini merupakan hasil dari amandemen ke-3 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstaat). Negara yang memiliki aturan-aturan dan kedaulatan hukum yang kuat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum sangat erat dengan kaitannya dengan rule of law, aturan hukum sehingga tidak boleh ada kekuatan lain yang berada di atas hukum itu sendiri demi tercapainya suatu tertib hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
            Kini sudah saatnya lembaga penegak hukum kita tegas dalam menciptakan supremasi hukum, menegakkan hukum yang sebenar-benarnya tanpa adanya diskriminasi dan intervensi dari pihak manapun. Hukum adalah kesepakatan bersama yang terbentuk melalui jalan demokrasi yang berdasarkan dari kedaulatan rakyat. Ia harus ditegakkan dengan baik agar terwujudnya suatu tertib hukum bagi masyarakat Indonesia. Konsep Negara hukum merupakan amanat Konstitusi dan harus berjalan sesuai dengan kebenaran dan keadilan masyarakat. Bentuk Negara demokrasi hanya akan mewujudkan suatu anarkisme dan kehancuran bagi Negara yang menganutnya jika berjalan tanpa adanya hukum sebagai pengawal dan penjaga demokrasi tersebut.
           
            

Sabtu, 06 Agustus 2011

Dasar Hukum Perekonomian Nasional



Perekonomian Indonesia saat ini cukup menarik perhatian banyak kalangan, baik itu dari akademisi, pengusaha, dan bahkan warga negara asing. Mereka yakin dengan potensi kebangkitan ekonomi yang akan dihadapi Indonesia kedepan. Melimpahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia selalu menjadi nilai tambah bagi perkembangan ekonomi di Indonesia. Pada kenyataannya, memang perkembangan ekonomi di Indonesia sudah berkembang cukup pesat sehingga wajar jika banyak pengusaha-pengusaha asing melakukan investasi di Indonesia. Namun selepas dari itu, pemerintah tidak dapat semata-mata hanya mengembangkan ekonominya dengan menyerahkannya kepada pasar. Ada batas-batas dan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam Konstitusi Indonesia.
UUD 45 telah mengatur mengenai dasar-dasar aturan perekonomian nasional yang tercantum pada Pasal 33 ayat (1) yang menyebutkan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” dalam pasal ini jelas bahwa kebangkitan ekonomi Indonesia tidak serta merta melibatkan beberapa golongan saja tetapi kebangkitan ekonomi itu harus dapat melibatkan seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Kebangkitan ekonomi itu juga harus memberikan dampak positif terhadap koperasi sebagai usaha bersama masyarakat, bukan malah menghancurkannya karena bermunculan investasi-investasi asing ke Indonesia. Kemudian ada pasal 33 ayat (2) UUD 45 menyebutkan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Kaitannya pada pasal ini bahwa pemerintah harus dapat menjaga cabang-cabang produksi milik Negara yang penting, untuk tetap dikuasai oleh Negara. Kepemilikan asing pada cabang-cabang produksi Negara tidak boleh melebihi kepemilikan Negara. Negara harus tetap menjadi penguasa dalam mengatur dan membuat keputusan terkait sebagai penguasa terhadap cabang-cabang produksi tersebut. Selanjutnya pada pasal 33 ayat (3) UUD 45 menyebutkan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Terdapat kesamaan pada ayat sebelumnya bahwa Negara juga harus menguasai, namun disini obyeknya adalah kekayaan alam dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kebangkitan ekonomi setidak-tidaknya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kekayaan-kekayaan alam Indonesia berada dibawah penguasaan Negara tanpa terkecuali. Pada pasal 33 ayat (4) UUD 45 menyebutkan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi disini adalah terkadung gagasan bahwa kedaulatan rakyat dibidang ekonomi, dimana sumber-sumber produksi pada pokoknya juga berada ditangan rakyat yang berdaulat. Jadi rakyat sepenuhnya berhak atas sumber-sumber daya alam untuk sebesar-sebesarnya dimanfaatkan bagi kemakmuran mereka sendiri. Potensi kebangkitan ekonomi sudah sepantasnya juga memperhatikan bahwa perekonomian nasional itu pada dasarnya diselenggarakan atas demokrasi ekonomi. Selain itu, terdapat juga prinsip-prinsip yang tidak boleh disimpangi, dan pemerintah juga harus mengawasi dari penyimpangan-penyimpangan prinsip  yang disebutkan pada Pasal 33 ayat (4) tersebut. Dimana perekonomian itu harus memiliki prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dalam mengahadapi potensi akan kebangkitan ekonomi nasional, sudah sepantasnya pemerintah tetap memperhatikan dasar-dasar hukum perekonomian nasional Indonesia yang sudah diatur jelas dalam konstitusi UUD 45 pada pasal 33 diatas. Pemerintah tidak dapat begitu saja melepas perekonomian nasional kepada pasar. Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) maka pemerintah haruslah menjalankan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan roda perekonomian nasional Indonesia


-M. Yudha Prawira