Senin, 10 Oktober 2011

Cita-cita Konstitusi yang Gagal Terwujud


Ledakan bom di Gereja Kepunton, Solo, Jawa Tengah yang terjadi beberapa hari yang lalu kini membuat masyarakat khawatir. Mereka khawatir akan ketentraman hidupnya dari bahaya teror bom yang seakan tiada habisnya terjadi di negeri Indonesia. Tindakan teror yang dilakukan oleh segelintir ekstrimis yang mengatasnamakan agama ini kerap selalu menjadi momok bangsa Indonesia yang nampaknya seperti tidak akan pernah ada akhirnya. Badan Intelijen Negara bahkan disini terlihat seperti kecolongan, mereka seakan tidak sigap dan tidak menyadari akan adanya aksi bom bunuh diri tersebut. Negara saat ini terlihat seperti mengalami kesulitan dalam usahanya untuk menciptakan perdamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Usaha-usaha mereka cukup banyak namun mereka tidak dapat mencegah konflik-konflik horizontal yang selalu terjadi di Indonesia. Keadilan dan perdamaian sulit terwujud di negeri ini, bahkan pemerintahpun tidak dapat menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya demi menjaga perdamaian dan keadilan.
            Dalam preambule konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia sebenarnya sudah dijamin mengenai keadilan dan perdamaian. Ia tercantum pada preambule UUD 45 alinea ke-4 yang menyebutkan bahwa “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Kalimat perdamaian abadi dan keadilan sosial disini menjadi sebuah landasan penting Negara yang menjadi dasar dalam mewujudkan tujuan-tujuan Negara Indonesia yang tercantum pada kalimat sebelumnya yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia. Amanat cita-cita konstitusi tersebut diwujudkan dengan kalimat perdamaian abadi, dimana bangsa ini seharusnya dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai tanpa membeda-bedakan suku, agama dan ras.
            Selanjutnya pada pasal 29 ayat 2 UUD 45 menyebutkan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kalimat “Negara menjamin” disini menjelaskan bahwa negara seharusnya dapat melindungi dan menjaga tiap-tiap masyarakat Indonesia dalam memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing, tanpa adanya diskriminasi dan serangan-serangan bahkan ancaman yang dapat merusak perdamaian.
Negara disini bertanggung jawab atas ketidaknyamanan yang terjadi bagi jemaat minoritas gereja diseluruh Indonesia, terutama di Solo. Jemaat gereja di Indonesia perlunya mendapat jaminan yang sama terhadap peribadatannya. Negara tidak boleh lepas tangan terhadap mereka, bahkan konstitusi sudah menjaminnya tanpa terkecuali bahwa ini adalah tanggung jawab Negara. Negara selayaknya dapat mewujudkan cita-cita konstitusi tersebut dengan menjaga dan melindungi tiap-tiap penduduknya meskipun itu kelompok minoritas, demi tegaknya perdamaian dan keadilan.
Masyarakat disini juga perlu sadar, bahwa mereka harus memulai untuk belajar bagaimana cara bertoleransi dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia. Masyarakat harus bersikap arif dan bijak dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia. Kita harus sadar bahwa perbedaan itu akan menjadi suatu kekayaan jika bangsa ini menjadi dewasa dan menghargai toleransi perbedaan tanpa adanya penghinaan dan penistaan dalam berbagai bentuk demi terwujudnya cita-cita konstitusi UUD 45 yakni perdamaian abadi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
             


             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar