Rabu, 12 September 2012

Negara Hukum yang Gagal


Keberagaman umat beragama di Indonesia merupakan suatu bentuk contoh keberagaman yang diakui dunia. Setiap agama di Indonesia memiliki nilai toleransi tinggi dan menjunjung nilai-nilai pancasila. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi kalimat yang diagung-agungkan oleh bangsa ini untuk bersama membangun negeri dalam ragam perbedaan. Tetapi kerukunan umat beragama yang selama ini terjalin sedikit terecoki dengan kasus Sampang sebagai bentuk kekerasan dan main hakim sendiri. Pertentangan dan perselisihan antara umat beragama kerap terjadi di beberapa daerah. Kerugian baik materil maupun moril adalah hal yang lumrah didapat oleh masyarakat yang sering mengalami konflik, bahkan korban jiwapun tidak luput dari dampak kerugian tersebut.
          Padahal pasal 1 ayat 3 UUD 45 telah menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Negara hukum (Rechsstaat) yang dianut oleh Indonesia bukanlah bentuk negara nachwachtersstaat (negara penjaga malam) yang semata-mata hanya melindungi masyarakatnya dari gangguan keamanan dari pihak luar saja melainkan Indonesia menganut bentuk Negara hukum welfare staat (Negara kesejahteraan) yang ikut aktif dalam melakukan intervensi di masyarakat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Hal itu dilakukan demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
        Dalam salah satu konsep rechsstaat menurut Frederic Julius Stahl ciri yang paling utama dalam Negara hukum adalah pengakuan HAM. Setiap Negara selayaknya memberikan pengakuan dan perlindungan HAM bagi setiap masyarakatnya, termasuk kebebasan berkeyakinan atau beragama yang merupakan bentuk HAM paling tinggi. Hal ini sudah diatur dalam pasal 29 ayat 2 konstitusi UUD 45 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Oleh karena itu, jika kini kita melihat bangsa Indonesia tidak mampu lagi memberikan rasa aman bagi setiap umat beragama maka disaat itulah Negara ini dapat dinyatakan sebagai Negara hukum yang gagal. Tidak hanya karena tidak mampu menjaga masyarakat dari timbulnya konflik antar umat beragama tetapi juga karena tidak mampu menjamin adanya keberagaman dalam mengatur urusan agama di masyarakat.
        Maka seiring dengan tegasnya konstitusi UUD 45 dalam memberikan aturan hukum mengenai tanggung jawab pemerintah terhadap keberagaman, selayaknya kini pemerintah mulai membenahi permasalahan yang ada, konflik antara muslim sunni dan muslim syiah di Sampang seharusnya dapat diselesaikan dengan damai tanpa adanya konflik. Peran pemerintah disini sangatlah vital agar tidak merusak citra damai Indonesia di mata internasional. Peran mediasi dan diplomasi seyogianya yang lebih ditonjalkan. Publik tentu menunggu keterlibatan pemerintah untuk menyelesaikannya segera.