1. Socrates (± 470 – 399 S.M.)
Menurut
Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat objektif, yang asal mulanya
dari pemikiran manusia. Sedang tugas negara adalah menciptakan hukum, yang
harus dilakukan oleh para pemimpin atau para penguasa yang dipilih oleh rakyat.
Disinilah timbul pemikiran Demokratis dari Socrates. Ia selalu menolak dan menentang
keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya yaitu mentaati
undang-undang.
Socrates
meninggal, karena dipaksa (dihukum) meminum racun, sebab dianggap merusak alam
pikiran dengan kepandaiannya yang telah ada waktu itu, dengan tidak meninggalkan
apa-apa, baik tulisan-tulisan yang telah dibukukan ataupun yang masih berupa
tulisan tangan. Namun, Socrates hidup terus dalam alam pemikirannya tentang
negara dan hukum, terutama berkat muridnya yang termasyur yaitu Plato. Karena
Plato dalam buku-buku karangannya memberikan tempat utama bagi gurunya yaitu
Socrates. Dalam banyak hal buku Plato bersifat tanya jawab, sedang
jawaban-jawaban itu diutarakan menurut ajaran gurunya, Socrates.
Cara
bekerja Socrates yaitu dengan metode dialektis atau “tanya jawab” (dialog), dengan itu Socrates mencoba
mencari pengertian-pengertian tertentu, yaitu mencari dasar-dasar hukum dan
keadilan “yang sejati bersifat objektif dan dapat dijalankan serta diterapkan
kepada setiap manusia”.
Menurut
pendapatnya, disetiap hati kecil manusia terdapat rasa hukum dan keadilan,
bergemalah detak-detak kesucian sebab setiap insan itu merupakan sebagian Nur
Tuhan Yang Maha Pemurah, adil dan penuh kasih sayang; meskipun detak-detak
kesucian itu dapat terselubung dan ditutupi oleh kabut tebal kemilikan dan
ketamakan, kejahatan dan aneka ragam kedholiman, namun tetap ada serta tidak
dapat dihilangkan laksana cahaya abadi.
Negara
bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan
pribadinya, melainkan negara itu suatu susunan yang objektif bersandarkan
kepada sifat hakikat manusia karena itu bertugas untuk menerapkan dan
melaksanakan dan hukum-hukum objektif, termuat “keadilan bagi umum”, dan tidak
hanya melayani kebutuhan para penguasa negara yang saling berganti-ganti
orangnya.
2. Plato (429-347 S.M.)
Ia
dilahirkan pada tahun 429 S.M. di Athena, tergolong ke dalam keluarga bangsawan
serta mendapat pendidikan tinggi.
Plato telah menulis dalam bukunya Politieia
tentang bagaimanakah corak negara yang sebaiknya atau bentuk negara yang
ideal. Perlu diketahui bahwa ilmu Negara pada zaman Plato merupakan cakupan
dari kehidupan yang meliputi Polis (negara
kota). Karena itu Ilmu Negara diajarkan sebagai Civics/Staatsburgerlijke opvoeding yang masih merupakan Sosial moral dan differensiasi ilmu pengetahuan pada waktu itu belum ada. Dalam
bukunya segala soal yang berhubungan dengan negara hanya digambarkan dalam
bentuk yang ideal. Dalam uraian selanjutnya ia menyamakan negara dengan manusia
yang mempunyai tiga kemampuan jiwa yaitu: Kehendak, Akal pikiran, Perasaan.
Golongan
yang pertama disebut golongan yang memerintah, yang merupakan otaknya di dalam
negara dengan mempergunakan akal pikirannya. Orang-orang yang mampu memerintah
adalah orang yang mempunyai kemampuan, dalam hal ini seorang raja yang berfilsafat tinggi. Golongan
kedua adalah golongan ksatria/prajurit dan
bertugas menjaga keamanan negara jika diserang dari luar atau dalam keadaan
kacau. Golongan ini dapat disamakan dengan kemauan dari hasrat manusia.
Golongan ketiga adalah golongan rakyat biasa
yang disamakan dengan perasaan manusia.
Jelas
bahwa paham dari Plato hanya suatu angan-angan saja dan ia insaf bahwa negara
semacam itu tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Karena sifat manusia itu
sendiri tidak sempurna. Selanjutnya ia menciptakan suatu bentuk negara yang
maksimal dan dapat dicapai yaitu disebut sebagai negara hukum. Dalam negara
hukum semua orang tunduk kepada hukum termasuk juga penguasa atau raja yang kadang-kadang
dapat juga bertindak sewenang-wenang.
Dalam
bukunya Nomoi ( undang-undang ) kelihatan dengan jelas bahwa ajaran Plato
tentang negara dan hukum berbelok arah dari dunia cita-cita kepada dunia
kenyataan, dari idealisme kepada realisme, meskipun realismenya itu tidak mampu
mendesak seluruhnya kepada idealismenya.
Di
waktu hidupnya, ajaran-ajaran Plato itu hanya dianggap sebagai permainan
pikiran saja dari kaum penganggur, tetapi di zaman-zaman kemudian, terlebih
setelah meninggalnya Plato, ajaran-ajaran itu mempunyai nilai dan arti yang
mahabesar.
3. Aristoteles (384-322 S.M.)
Aristoteles
adalah murid Plato. Ia berasal dari kerajaan Macedonia dan datang ke Yunani
waktu berusia tujuh belas tahun untuk berguru kepada Plato. Aristoteles
melanjutkan pemikiran idealisme Plato ke realisme. Oleh karena itu filsafat
Aristoteles adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologie, yaitu cara berpikir yang realistis. Sehingga dengan
demikian itulah ia dijuluki Bapak ilmu pengetahuan empiris (Vader der empirische wetenschap).
Berlainan dengan Plato yang membagi dunia dua bagian, berdasarkan
ideenleer-nya, maka Aristoteles tidak mengakui perbedaan dua dunia ini. Ia
hanya mengakui adanya satu dunia yang mempunyai proses. Jadi tidak membedakan
dunia cita dan dunia alam, tetapi pikirannya langsung ditujukan kepada
kenyataan yang sebenarnya dengan melalui panca indera.
Menurut Aristoteles negara itu
adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan
dalam negara akan tercapai bila terciptanya kebahagiaan individu
(perseorangan). Sebaliknya bila manusia ingin bahagia maka ia harus bernegara,
karena manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya dalam kepentingan
hidupnya.
Aristoteles membedakan dalam tiga
bentuk negara, yang kemudian jenis-jenis ini dibedakan lagi menjadi dua
berdasarkan sifatnya.
I.
Negara dimana pemerintahannya hanya
dipegang oleh satu orang saja, jadi kekuasaanya itu hanya terpusat pada satu
tangan, ini dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Negara
dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, dan pemerintahannya
itu ditujukan untuk kepentingan umum, jadi ini bersifat baik. Negara ini
disebut Monarki.
2. Negara
dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, tetapi
pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan si penguasa itu sendiri, jadi
ini
yang bersifat jelek.
Negara ini disebut Tyranni.
II.
Negara dimana pemerintahannya itu
dipegang oleh beberapa orang jadi oleh segolongan kecil saja. Disinipun
kekuasaannya dipusatkan, tetapi tidak pada satu orang, melainkan pada suatu
organ atau badan yang terdiri dari beberapa orang, ini dibedakan lagi
berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Negara
dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, dan sifatnya itu baik,
karena pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum. Negara ini disebut
Aristokrasi.
2. Negara
dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, tetapi sifatnya itu
jelek, karena pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan mereka, si
pemegang pemerintahan itu sendiri. Negara ini disebut Oligarki.
III.
Negara di mana pemerintahannya itu
dipegang oleh rakyat, ini yang dimaksud bahwa yang memegang pemerintahan adalah
rakyat itu sendiri. Ini dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Negara
di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya itu
baik, karena memperhatikan kepentingan umum atau rakyat. Negara ini disebut
Republik atau Republik Konstitusionil.
2. Negara
di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat, tetapi sifat pemerintahannya
jelek, karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk kepentingan si pemegang
kekuasaan itu saja.
Menurut Aristoteles bentuk negara yang
terbaik itu adalah Republik Konstitusionil. Hal ini berlainan dengan pendapat
Plato, yang mengatakan bahwa yang terbaik itu adalah Aristokrasi. Menurut
Aristoteles tujuan negara adalah kesempurnaan diri manusia sebagai anggota
masyarakat, sedand disini yang diutamakan adalah masyarakat, sebab kebahagiaan
manusia tergantung dari kebahagiaan masyarakat.
4. Thomas Aquino (1225-1274)
Tokoh
yang penting pada abad ini adalah Thomas van Aquino. Menurut pendapatnya dalam
menerangkan kedudukan negara di dalam masyarakat berpangkal pada manusia
sebagai makhluk masyarakat (animal social)
disamping manusia sebagai makhluk politik (animal
politicum). Karena manusia sebagai makhluk masyarakat menurut kodratnya,
maka ia tidak bisa hidup dalam suatu pergaulan masyarakat dan senantiasa
mencari masyarakat itu.
Filsafat Thomas Aquinas bersifat
finalities, ini berarti bahwa apa yang menjadi tujuannya itu dikemukakan
terlebih dahulu, baru kemudian harus diusahakan supaya tujuan itu dapat
tercapai.
Pendapat Thomas Aquino tentang
perimbangan kedudukan atau kekuasaan antara negara dan gereja, yaitu dikatakan
olehnya bahwa organisasi negara yang dipimpin oleh raja mempunyai kedudukan
sama dengan organisasi gereja yang dipimpin oleh Paus. Hanya saja masing-masing
organisasi itu mempunyai tugas yang berlainan. Tugas atau kekuasaan negara
adalah lapangan keduniawian, sedang tugas atau kekuasaan gereja adalah dalam
lapangan kerohanian, keagamaan.
Menurut Thomas Aquino bentuk
pemerintahan yang paling baik adalah Monarki. Karena tujuan negara itu adalah
selain member kemungkinan supaya manusia itu dapat mencapai kemulyaan yang
abadi, juga supaya manusia itu hidup susila. Hal ini dapat terlaksana apabila
terdapat perdamaian di dalam masyarakat dan untuk ini yang terpenting adalah
adanya persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu Monarki dipimpin oleh satu orang
tunggal, maka Monarki adalah yang paling ideal.
Thomas Aquino mengadakan perbedaan
hukum dalam empat golongan, yaitu:
1. Hukum
abadi atau lex aeterna, ini adalah hukum dari keseluruhannya yang berakar dalam
jiwa Tuhan
2. Hukum
Alam. Manusia adalah sebagai makhluk yang berpikir, maka ia merupakan bagian
daripada Nya. Ini adalah merupakan hukum alam.
3. Hukum
positif. Ini adalah pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia, yang disesuaikan
dengan syarat-syarat khusus yang diperlukan untuk mengatur soal-soal
keduniawian di dalam negara.
4. Hukum
Tuhan. Ini adalah hukum yang mengisi kekurangan-kekurangan daripada pikiran
manusia dan memimpin manusia dengan wahyu-wahyunya kea rah kesucian untuk hidup
di alam baka dan ini dengan cara yang tidak mungkin salah. Wahyu-wahyu inilah
yang akhirnya terhimpun dalam kitab-kitab suci.
Tentang keadilan, Thomas Aquinas
mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan, yaitu kemauan untuk memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya. Disamping itu orang harus juga
mengusahakan kepatutan, seperti yang telah diajarkan oleh Aristoteles.
Undang-undang tertulis dapat dianggap sebagai hukum dan keadilan dan yang
mendapat kekuasaan dari hukum alam.
Ajaran Thomas Aquinas merupakan puncak
dari pemikiran pada abad pertengahan dan berada pada titik balik dari
pertumbuhan kebudayaan berikutnya. Sementara itu orang mulai kelihatan
melepaskan pikiran yang teokratis, ini terjadi sebagai akibat perubahan social
dan perkembangan aliran filsafat yang nominalistis.
5. F. Oppenheimer
Di
dalam bukunya Die Sache, mengatakan bahwa negara itu adalah merupakan suatu
alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat, yang
oleh golongan yang kuat tadi dilaksanakan kepada golongan yang lemah, dengan
maksud untuk menyusun dan membela kekuasaan dari golongan yang kuat tadi,
terhadap orang-orang baik dari dalam maupun luar, terutama dalam sistem
ekonomi. Sedangkan tujuan terakhir dari semuanya adalah penghisapan ekonomis
terhadap golongan yang lemah tadi oleh golongan yang kuat.
6. R. Kranenburg
Mengenai
pendapatnya tentang negara Kranenburg mengatakan bahwa negara itu pada
hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok
manusia yang disebtu bangsa. Jadi menurut Kranenburg terlebih dahulu harus ada
sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi,
dengan tujuan untuk memelihara dari kepentingan kelompok tersebut. Maka disini
yang primer atau yang utama dan yang terpenting harus ada adalah kelompok manusianya.
Sedangkan negara itu adalah sekunder, artinya adanya itu menyusul kemudian dam
adanya itu hanya dapat kalau berdasarkan atas suatu kelompok manusia yang
disebut bangsa.
Pendapat Kranenburg tersebut di atas
kiranya didasarkan atau dikuatkan dengan alas- an-alasan bahwa pada zaman modern ini terdapat
formasi-formasi kerjasama internasional, atau antara bangsa-bangsa. Misalnya
Perserikatan Bangsa-bangsa. Di sini yang menjadi anggota nya adalah
negara-negara. Tetapi mengapa disebut Perserikatan Bangsa-bangsa? Bukan United
States, Melainkan United Nations. Hal yang demikian menurut Kranenburg
menunjukkan bahwa menurut pandangan modern, bangsa itu menjadi dasar dari
negara. Jadi bangsalah yang primer, yang harus terlebih dahulu, baru kemudian
menyusul adanya negara, jadi negara sifatnya sekunder.
Krenenburg beranggapan pengelompokan
manusia itu didasarkan atas empat macam ukuran yaitu:
a. Pengelompokan
berada pada suatu tempat tertentu dan teratur
b. Pengelompokan
pada suatu tempat tertentu tetapi tidak teratur
c. Pengelompokan
tidak berada pada suatu tempat tetapi teratur
d. Pengelompokan
tidak berada pada suatu dan tidak teratur.
7. Aliran Fasisme
Kira-kira
pada tahun 1922-1944 sebelum Perang Dunia Kedua selesai, di Italia terdapat
suatu paham yang berpengaruh dan disebut Fasisme. Ajarannya pertama-tama
menolak adanya negara hukum yang demokratis di mana dalam negara demokratis
diakui adanya hak-hak kemerdekaan manusia. Sebagai kelanjutan dari paham ini
ialah tidak diakuinya pembagian kekuasaan yang hendak mencegah adanya
tidakan-tindakan sewenang-wenang. Pembagian kekuasaan dianggap sebagai
sekunder, kedaulatan tertinggi terletak pada negara dan tidak diakui adanya
kekuasaan yang lebih tinggi dari negara. Tidak boleh ada pendapat yang
bertentangan dengan negara dan semuanya adalah untuk kepentingan negara. Jika
semua kekuasaan dipusatkan pada negara maka yang memegang kekuasaan itu adalah Duce pemimpin atas Capodel Governo. Dalam negara hanya terdapat satu partai sebagai
elit dan partai-partai lainnya tidak diakui. Negara adalah satu dan sama.
Karena sifat-sifatnya ini maka negara fasis mempunyai ciri otoriter, totaliter, dan korporatif.
Jadi dalam negara fasis orang tidak mengenal negara hukum yang dapat menjamin
kebebasan hukum dan kebebasan politik daripada warganegaranya.
Kebebasan dalam hukum dan kebebasan
dalam politik berarti mengakui adanya kebebasan individu-individu, sedangkan
individu dalam negara Fasis tidak ada artinya. Individu merupakan bagian
daripada korporasi dan korporasi-korporasi itu adalah merupakan bangsa Italia.
Bangsa Italia sebagai suatu kesatuan
moral, politik, dan ekonomi kini menjelma menjadi negara. Kepribadian tertinggi
terletak pada negara dan tidak lagi pada bangsa Italia, sehingga bukan Italia
yang membentuk negara melainkan negara Italia yang membentuk bangsanya. Negara
Fasis meripakan negara yang paling berkuasa dan menentukan segala kekuatan baik
dalam bidang moral maupun dalam bidang intelektual dari individu-individu.
Tugas negara tidak hanya terbatas pada
bidang tata tertib saja seperti halnya
dalam negara liberal dan juga tidak hanya merupakan alat untuk membatasi
kebebasan individu saja, lebih daripada itu negara mengatur seluruh kehidupan
manusia dengan disiplin yang keras mempengaruhi kemauan serta pikirannya.
Negara merupakan pusat inspirasi yang mendalam bagi setiap bangsa Italia dan
menanamkan kemungkinan dari tindakannya dalam bidangnya masing-masing baik ia
adalah seorang sarjana, seniman atau pedagang.
Pengerahan setiap warganegaranya
adalah untuk menaklukan negara-negara disekitar Italia dan kemudian hendak
membentuk suatu Imperium dunia. Hal seperti ini telah disimpan dalam dada
setiap orang Italia. Inilah yang menjadi tujuan akhir dari negara Fasis. Oleh
karena itu tujuannya tidak objektif maka dilihat dari segi Ilmu Negara ia tidak
mempunyai arti sebagai Ilmiah.
8. Liberalisme
Aliran
ini sudah lama timbul sebagai reaksi dari paham Mercantilisme yang hidup pada abad 16, 17, 18 dan 19 di
negara-negara Barat yang melaksanakan plitik ekonomi berdasarkan sistem
perdagangan yang menguntungkan. Negara yang menganut aliran ini hendak
mengusahakan agar ekspor lebih besar dari impor sehingga pemasukan uang lebih
banyak daripada pengeluarannya. Pada awal abad ke 17 Menteri Colbert dari
Perancis melaksanakan politik ekonomi dengan sistem mercantilisme guna
memperoleh emas dan perak terutama dari pihak Spanyol yang pada waktu itu
menjadi negara yang sangat kaya karena banyaknya jajahan di Amerika Selatan.
Paham Liberalisme ditujukan kepada
kebesaran dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi terutama
dimaksudkan sebagai kemerdekaan dan kebebasan yang leluasa dalam mencapai
kemakmuran rakyatnya. Untuk mencapai ini negara dilarang ikut campur tangan
jika terjadi perselisihan di antara rakyatnya satu sama lain di dalam
penyelenggaraan kemakmurannya masing-masing. Dalam lapangan ekonomi paham ini
terkenal seperti yang diajarkan oleh Adam Smith. Dengan adanya aliran
liberalism ini maka tampak dengan jelas perbedaan antara negara dengan
masyarakat atau antara penguasa dengan yang dikuasai atau antara pemerintah
dengan rakyatnya.
Paham ini mula-mula dikemukakan oleh
Emmanuel Kant yang menghendaki kebebasan rakyat dari campur tangan pemerintah
dengan mengemukakan unsur-unsur yang penting dalam negara hukum seperti hak
asasi manusia dan pembagian kekuasaan negara. Dari ajaran Emmanuel Kant ini
ternyata bahwa negara hukum tidak dapat dipertahankan lagi tanpa campur tangan
pemerintah terhadap kemakmuran rakyatnya. Pemerintah tidak bisa tinggal diam
walaupun campur tangannya terhadap kepentingan rakyat harus dibatasi dengan
undang-undang. Yang sangat menarik perhatian dengan filsafatnya, paham
liberalisme ini membiarkan setiap individu mengembangkan bakatnya
masing-masing, tanpa paksaan, tekanan dan lain-lain. Dengan filsafat hidup ini
mereka beranggapan bahwa kebahagiaan hidupnya akan tercapai Dari sini mulai
lahir pengertian free fight competition
yang membawakan bermacam-macam akses di dalam masyarakat. Akses itu antara lain
perlombaan dalam mendapat keuntungan ekonomi dan sebagai akibatnya timbul
segolongan kecil manusia yang memiliki modal di dalam masyarakat dan menguasai
golongan yang terbanyak dalam masyarakat yang hidupnya tergantung mereka
9. Nasional Sosialisme
Dalam
waktu yang bersamaan denga Fasisme di Italia, paham ini mempunya pengaruh yang
besar sekali di Jerman sebelum Perang Dunia II. Kalau menurut paha Fasisme,
negara adalah yang paling dan yang paling berkuasa maka menurut paham Nasiona
Sosialisme Jerman adalah Fuhrer,
Reichstag tidak mempunya arti sama sekali dan hanya sekali ia berkumpul
kalau diperlukan oleh Fuhrer untuk memberitahukan apa yang sudah dan apa yang
akan dijalankan olehnya. Paham Nasional Sosialisme itu dihidupkan di atas mytos bangsa Jerman yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di dunia baik mengenai
ciri-ciri jasmaniahnya maupun ciri-ciri rohaniahnya. Melalui ajarannya mengenai
ras, para sarjana Jerman hendak membuktikan bahwa ia adalah keturunan dari
dewa-dewa yang disebut sebagai das
Herrnvolk yang mempunyai bakat-bakat yang lebih tinggi dari bangsa-bangsa
lainnya di dunia. Adalah suatu panggilan dari bangsa Jerman untuk membentuk
negara Germania yang besar yang hendak menyamai Imperium Romawi dahulu. Anehnya
kalau bangsa Romawi dahulu dikalahkan oleh Bangsa Germania maka sekarang bangsa
Germania ingin meniru bangsa Romawi maka sekarang bangsa Germania ingin meniru
bangsa Romawi. Juga seperti halnya dengan pihak Fasisme, paham ini sesudah
Perang Dunia II selesai tidak mempunyai tempat yang subur sebagai ilmiah.