Kamis, 12 September 2013

Tegakkan Reward and Punishment Hukum


Iklim kondisi masyarakat Indonesia kini sedang mengalami degradasi sosial yang cukup mengkhawatirkan. Meningkatnya kejahatan di tengah-tengah masyarakat merupakan salah satu benntuk dari rangkaian masalah sosial yang tidak dapat kita anggap enteng. Belum lama ini kasus tragedi di LP Cebongan memberikan gambaran kepada kita mengenai mudahnya melakukan tindak kejahatan di negeri ini. Bahkan maraknya premanisme yang muncul di beberapa daerah dan tidak henti-hentinya penangkapan pelaku terorisme di Indonesia adalah bukti yang nyata betapa terpuruknya kondisi sosial masyarakat kita saat ini.

Perlu diketahui bahwa meningkatnya kejahatan di masyarakat dapat dikatakan termasuk  ciri dari bentuk masyarakat yang anarkistis. Pendapat Aristoteles yang menyebutkan bahwa puncak dari demokrasi adalah anarki mungkin ada benarnya tercipta di negara yang mengaku sebagai negara demokratis ini. Bagaimana tidak? Tujuan negara yang hendak berusaha membangun nuansa demokrasi di masyarakat tidak diikuti dengan tegaknya supremasi hukum. Ketimpangan dari besarnya kedaulatan rakyat dibandingkan dengan kedaulatan hukum hanya akan menimbulkan anarkisme dan terciptanya diktator-diktator kecil yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, pendapat dari Thomas Hobbes yakni homo homini lupus (manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya) mungkin juga dapat merepresentasikan bahwa manusia di Indonesia hanya menganggap manusia lain bagaikan serigala atau ancaman yang hendak menyerang mereka kapan saja.

Norma dasar konstitusi UUD 45 pasal 1 ayat 2 sebenarnya sudah menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan pada pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”. Kedua ayat ini menjelaskan bahwa adanya keseimbangan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, yakni antara demokrasi maupun konsep negara hukum. Sehingga hal ini menjelaskan bahwa hukum adalah kedaulatan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan hukum pula yang memiliki peran sebagai tatanan sosial yang mengatur dari pengakuan adanya kedaulatan rakyat tersebut.

Hukum yang merupakan tatanan sosial pada umumnya memiliki fungsi yakni untuk mewujudkan tindakan timbal balik dalam masyarakat, untuk membuat orang melakukan apa yang seharusnya dan tidak melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan, dan berusaha untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Tentu jika kita menginginkan agar tatanan sosial atau hukum ini dapat dipatuhi, maka diperlukan karakteristik tertentu yang dapat memberikan motivasi agar orang dapat melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam memberikan motivasi terhadap masyarakat, hukum disini dapat memberikan keuntungan tertentu untuk kepatuhan dan dapat memberikan kerugian tertentu untuk ketidakpatuhan. Oleh karena itu kita dapat memahaminya sebagai bentuk dari mekanisme reward and punishment.

Mekanisme reward and punishment dapat diterapkan melalui pemberian sanksi tegas dan juga keuntungan kepatuhan terhadap aturan hukum. Sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum haruslah memperoleh sanksi ataupun kerugian yang sesuai dengan perbuatannya, begitu pula bagi orang yang mematuhi hukum selayaknya mendapatkan reward yakni berupa rasa aman, rasa damai, dan juga kesejahteraan ekonomi maupun kesejahteraan jiwanya.

Saat ini, Indonesia memiliki permasalahan serius dalam menerapkan mekanisme reward and punishment-nya dalam sistem hukum. Adanya ketidaksesuaian antara penerapan reward and punishment dengan tindakan/perilaku seseorang menimbulkan kecenderungan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum. Hukum justru berubah fungsi menjadi alat untuk menyakiti rasa keadilan masyarakat, menentang prinsip-prinsip moral dan menentang nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah dan para aparat penegak hukum kita sadar bahwa perlunya perbaikan di dalam sistem hukum kita saat ini. Permasalahan yang disebabkan dari hilangnya motivasi masyarakat untuk patuh terhadap hukum selayaknya tidak perlu terjadi di negara demokrasi hukum dewasa ini. Keseimbangan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sudah mutlak diperlukan. Demokrasi tanpa hukum hanya akan melahirkan anarki sedangkan hukum tanpa demokrasi hanya akan melahirkan tirani.

Maka disini pemerintah perlu tegas untuk menegakkan reward and punishment dalam sistem hukum Indonesia. Pemerintah harus dapat mengembalikan motivasi masyarakat untuk kembali patuh terhadap hukum. Begitupun masyarakat, selayaknya harus dapat memahami bahwa hukum merupakan suatu bentuk norma yang menjadi acuan dalam kehidupan bersama berbangsa dan bernegara. Jika pemerintah mampu menegakkan reward and punishment, maka akan diikuti pula dengan adanya kepatuhan masyarakat terhadap hukum, bahkan terciptanya keseimbangan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum akan tercipta dengan sendirinya. Sehingga pada akhirnya tindakan-tindakan anarkistis tidak akan tercipta di negeri ini dan terwujudnya tujuan bangsa yaitu perdamaian abadi dan keadilan sosial akan tercipta dengan sendirinya di bumi Indonesia dengan adanya kepatuhan rakyat terhadap hukum.

Dimuat:

Kolom Opini Tangsel Pos Edisi 14 Mei 2013

Rabu, 08 Mei 2013

Hilangnya Kesadaran Hukum di Negara Demokrasi Hukum


Di dalam konsep nomokrasi Islam menurut Taher Azhari, bahwa dalam konsep negara hukum terdapat prinsip ketaatan rakyat. Bentuk ketaatan rakyat yang mana merupakan suatu bentuk ketundukan atau kepatuhan rakyat terhadap negara dalam hal mengatur masyarakatnya. Masyarakat disini menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada negara untuk memberikan suatu peraturan demi menjaga ketertiban, keamanan dan menjamin kesejahteraan. Masyarakat taat dan patuh terhadap negara sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dengan menjalankan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Maka dari itu bentuk prinsip ini kemudian dapat dikenal merupakan suatu prinsip “sadar hukum” yang terdapat dalam berbagai konsep negara hukum.
         Namun, melihat kondisi Indonesia saat ini tentu sangatlah jauh berbeda dengan prinsip ketaatan rakyat. Padahal jika kita melihat prinsip yang dibangun oleh bangsa ini adalah prinsip negara demokrasi yang berlandaskan hukum, yang membutuhkan ketaatan dari rakyatnya, prinsip Negara demokrasi dan Negara hukum ini ditegaskan dalam Konstitusi UUD 45 pasal 1 ayat (2) dan (3), yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kemudian pada ayat (3) menjelaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa negara ini berjalan atas kedaulatan rakyat yang berdasar hukum. Sehingga negara hanya dapat bertindak menurut aturan dan kaidah-kaidah yang berlaku dan masyarakat dibatasi kebebasannya dengan aturan dan kaidah  hukum tersebut. Tetapi minimnya masyarakat yang memiliki kesadaran akan hukum ataupun prinsip ketaatan ini telah merusak konsep negara demokrasi itu sendiri yang kini telah berubah menjadi  negara demokrasi anarki yang melupakan prinsip-prinsip hukumnya.
       Kenyataan ini dapat terlihat dengan meningkatnya pelanggaran hukum, munculnya kesenjangan ekonomi maupun keadilan dan meningkatnya tingkat anarkisme. Dalam pelanggaran hukum misalnya, mungkin sudah bukanlah hal yang ganjil jika kita melihat media-media banyak memberitakan pelanggaran hukum yang terjadi di Indonesia, baik itu dilakukan oleh para pejabat negara, pengusaha, bahkan para penegak hukum itu sendiri. Kemudian akibat dari hal tersebut memicu suatu kesenjangan dan diskriminasi dalam hal memberikan keadilan terhadap masyarakat, sehingga memicu kesenjangan ekonomi yang besar. Di negara ini rakyat kecil yang menjadi korban dari kejahatan itu semua, mereka hanya dapat mengais-ngais sisa-sisa harta dan sisa-sisa keadilan yang tercecerkan dari orang-orang yang mempermainkan hukum.
Selain itu dapat kita lihat juga dengan. ketidaksiapan masyarakat dalam menjalankan pemilihan umum dalam proses berdemokrasi. Tindakan yang tidak jujur, kecurangan, politik uang, suap menyuap, bahkan bergerak atas kepentingan golongan atau pribadi itu adalah hal yang lumrah terjadi di negara ini. Dalam proses pemilupun tidak mungkin tidak bahwa para partai bergerak atas kepentingan kelompoknya masing-masing, dan bukan atas dasar ideologi yang mereka perjuangkan. Disinipun masyarakat dibuat kebingungan dalam memilih pemimpin di bangku legislatif maupun eksekutif. Beberapa masyarakat kecil tentunya tidak paham dengan partai yang mereka pilih dan hal ini kemudian menjadi pemicu politik uang yang dapat menyakiti prinsip demokrasi dan Negara hukum kita.
            Rangkaian dari bermacam-macam masalah inilah yang kemudian membuat perubahan arah bangsa ini, yang kini mengarah kepada demokrasi anarki. Keadaan kacau balau dimana masyarakat kecil mengungkapkan rasa kekecewaannya dengan melanggar hukum atas ketidakadilan yang masih menghantui mereka dan para penguasa maupun para pengusaha tetap saja mempermainkan hukum dan masyarakat kecil dengan harta maupun dengan kekuasaannya.
Tentu jika kita menilik lebih dalam masalah ini seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat sudah memiliki jiwa sadar hukum. Mereka seharusnya memperhatikan kepentingan hukum dan nilai-nilai yang terkandung untuk kepentingan umum dan untuk kesejahteraan bersama. Bahwa keadilan adalah milik bersama dan hukum harus menjadi tonggak berbangsa.
       Melihat konsep yang dibangun oleh bangsa ini tentu kita tidak dapat melepaskannya dari prinsip ketaatan rakyat yang telah dijelaskan di awal, yakni prinsip sadar hukum. Suatu negara demokrasi yang memberikan kedaulatan terhadap rakyat tentu harus memiliki rakyat yang berjiwa sadar hukum. Dimana mereka memahami aturan-aturan yang ada dan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang menciptakan kekacauan. Penyerahan kedaulatan terhadap rakyat ini tidak dapat diberikan begitu saja, oleh karena itu maka negara ini menyandingkannya dengan konsep negara hukum.
Namun pada kenyataannya konsep demokrasi dan negara hukum tidak mampu lagi berjalan sebagaimana mestinya ketika masyarakat di negara ini tidak memiliki jiwa-jiwa sadar hukum. Kemudian demokrasi yang diciptakan tanpa adanya prinsip sadar hukum ini hanyalah demokrasi anarki yang menjadi puncak kebrobrokan dari penerapan demokrasi itu sendiri. Tidak ada cara lain untuk mengembalikan harapan bagi bangsa ini selain mengembalikan jiwa-jiwa masyarakat yang taat akan hukum atau prinsip sadar hukum untuk seluruh masyarakat Indonesia.


dimuat dalam buku 67 Wajah Indonesia (Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM)

Rabu, 12 September 2012

Negara Hukum yang Gagal


Keberagaman umat beragama di Indonesia merupakan suatu bentuk contoh keberagaman yang diakui dunia. Setiap agama di Indonesia memiliki nilai toleransi tinggi dan menjunjung nilai-nilai pancasila. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” menjadi kalimat yang diagung-agungkan oleh bangsa ini untuk bersama membangun negeri dalam ragam perbedaan. Tetapi kerukunan umat beragama yang selama ini terjalin sedikit terecoki dengan kasus Sampang sebagai bentuk kekerasan dan main hakim sendiri. Pertentangan dan perselisihan antara umat beragama kerap terjadi di beberapa daerah. Kerugian baik materil maupun moril adalah hal yang lumrah didapat oleh masyarakat yang sering mengalami konflik, bahkan korban jiwapun tidak luput dari dampak kerugian tersebut.
          Padahal pasal 1 ayat 3 UUD 45 telah menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Negara hukum (Rechsstaat) yang dianut oleh Indonesia bukanlah bentuk negara nachwachtersstaat (negara penjaga malam) yang semata-mata hanya melindungi masyarakatnya dari gangguan keamanan dari pihak luar saja melainkan Indonesia menganut bentuk Negara hukum welfare staat (Negara kesejahteraan) yang ikut aktif dalam melakukan intervensi di masyarakat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Hal itu dilakukan demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
        Dalam salah satu konsep rechsstaat menurut Frederic Julius Stahl ciri yang paling utama dalam Negara hukum adalah pengakuan HAM. Setiap Negara selayaknya memberikan pengakuan dan perlindungan HAM bagi setiap masyarakatnya, termasuk kebebasan berkeyakinan atau beragama yang merupakan bentuk HAM paling tinggi. Hal ini sudah diatur dalam pasal 29 ayat 2 konstitusi UUD 45 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Oleh karena itu, jika kini kita melihat bangsa Indonesia tidak mampu lagi memberikan rasa aman bagi setiap umat beragama maka disaat itulah Negara ini dapat dinyatakan sebagai Negara hukum yang gagal. Tidak hanya karena tidak mampu menjaga masyarakat dari timbulnya konflik antar umat beragama tetapi juga karena tidak mampu menjamin adanya keberagaman dalam mengatur urusan agama di masyarakat.
        Maka seiring dengan tegasnya konstitusi UUD 45 dalam memberikan aturan hukum mengenai tanggung jawab pemerintah terhadap keberagaman, selayaknya kini pemerintah mulai membenahi permasalahan yang ada, konflik antara muslim sunni dan muslim syiah di Sampang seharusnya dapat diselesaikan dengan damai tanpa adanya konflik. Peran pemerintah disini sangatlah vital agar tidak merusak citra damai Indonesia di mata internasional. Peran mediasi dan diplomasi seyogianya yang lebih ditonjalkan. Publik tentu menunggu keterlibatan pemerintah untuk menyelesaikannya segera.
            

Minggu, 01 Juli 2012

Aliran-aliran Ilmu Negara


1. Socrates (± 470 – 399 S.M.)
Menurut Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan  yang bersifat objektif, yang asal mulanya dari pemikiran manusia. Sedang tugas negara adalah menciptakan hukum, yang harus dilakukan oleh para pemimpin atau para penguasa yang dipilih oleh rakyat. Disinilah timbul pemikiran Demokratis dari Socrates. Ia selalu menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya yaitu mentaati undang-undang.
Socrates meninggal, karena dipaksa (dihukum) meminum racun, sebab dianggap merusak alam pikiran dengan kepandaiannya yang telah ada waktu itu, dengan tidak meninggalkan apa-apa, baik tulisan-tulisan yang telah dibukukan ataupun yang masih berupa tulisan tangan. Namun, Socrates hidup terus dalam alam pemikirannya tentang negara dan hukum, terutama berkat muridnya yang termasyur yaitu Plato. Karena Plato dalam buku-buku karangannya memberikan tempat utama bagi gurunya yaitu Socrates. Dalam banyak hal buku Plato bersifat tanya jawab, sedang jawaban-jawaban itu diutarakan menurut ajaran gurunya, Socrates.[1]
Cara bekerja Socrates yaitu dengan metode dialektis atau “tanya jawab” (dialog), dengan itu Socrates mencoba mencari pengertian-pengertian tertentu, yaitu mencari dasar-dasar hukum dan keadilan “yang sejati bersifat objektif dan dapat dijalankan serta diterapkan kepada setiap manusia”.
Menurut pendapatnya, disetiap hati kecil manusia terdapat rasa hukum dan keadilan, bergemalah detak-detak kesucian sebab setiap insan itu merupakan sebagian Nur Tuhan Yang Maha Pemurah, adil dan penuh kasih sayang; meskipun detak-detak kesucian itu dapat terselubung dan ditutupi oleh kabut tebal kemilikan dan ketamakan, kejahatan dan aneka ragam kedholiman, namun tetap ada serta tidak dapat dihilangkan laksana cahaya abadi.
Negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untuk manusia demi kepentingan pribadinya, melainkan negara itu suatu susunan yang objektif bersandarkan kepada sifat hakikat manusia karena itu bertugas untuk menerapkan dan melaksanakan dan hukum-hukum objektif, termuat “keadilan bagi umum”, dan tidak hanya melayani kebutuhan para penguasa negara yang saling berganti-ganti orangnya.[2]


2. Plato (429-347 S.M.)
Ia dilahirkan pada tahun 429 S.M. di Athena, tergolong ke dalam keluarga bangsawan serta mendapat pendidikan tinggi[3]. Plato telah menulis dalam bukunya Politieia tentang bagaimanakah corak negara yang sebaiknya atau bentuk negara yang ideal. Perlu diketahui bahwa ilmu Negara pada zaman Plato merupakan cakupan dari kehidupan yang meliputi Polis (negara kota). Karena itu Ilmu Negara diajarkan sebagai Civics/Staatsburgerlijke opvoeding yang masih merupakan Sosial moral dan differensiasi ilmu pengetahuan pada waktu itu belum ada. Dalam bukunya segala soal yang berhubungan dengan negara hanya digambarkan dalam bentuk yang ideal. Dalam uraian selanjutnya ia menyamakan negara dengan manusia yang mempunyai tiga kemampuan jiwa yaitu: Kehendak, Akal pikiran, Perasaan.
Golongan yang pertama disebut golongan yang memerintah, yang merupakan otaknya di dalam negara dengan mempergunakan akal pikirannya. Orang-orang yang mampu memerintah adalah orang yang mempunyai kemampuan, dalam hal ini seorang raja yang berfilsafat tinggi. Golongan kedua adalah golongan ksatria/prajurit dan bertugas menjaga keamanan negara jika diserang dari luar atau dalam keadaan kacau. Golongan ini dapat disamakan dengan kemauan dari hasrat manusia. Golongan ketiga adalah golongan rakyat biasa yang disamakan dengan perasaan manusia.
Jelas bahwa paham dari Plato hanya suatu angan-angan saja dan ia insaf bahwa negara semacam itu tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Karena sifat manusia itu sendiri tidak sempurna. Selanjutnya ia menciptakan suatu bentuk negara yang maksimal dan dapat dicapai yaitu disebut sebagai negara hukum. Dalam negara hukum semua orang tunduk kepada hukum termasuk juga penguasa atau raja yang kadang-kadang dapat juga bertindak sewenang-wenang.[4]
Dalam bukunya Nomoi ( undang-undang ) kelihatan dengan jelas bahwa ajaran Plato tentang negara dan hukum berbelok arah dari dunia cita-cita kepada dunia kenyataan, dari idealisme kepada realisme, meskipun realismenya itu tidak mampu mendesak seluruhnya kepada idealismenya.
Di waktu hidupnya, ajaran-ajaran Plato itu hanya dianggap sebagai permainan pikiran saja dari kaum penganggur, tetapi di zaman-zaman kemudian, terlebih setelah meninggalnya Plato, ajaran-ajaran itu mempunyai nilai dan arti yang mahabesar.[5]
3. Aristoteles (384-322 S.M.)
            Aristoteles adalah murid Plato. Ia berasal dari kerajaan Macedonia dan datang ke Yunani waktu berusia tujuh belas tahun untuk berguru kepada Plato. Aristoteles melanjutkan pemikiran idealisme Plato ke realisme. Oleh karena itu filsafat Aristoteles adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologie, yaitu cara berpikir yang realistis. Sehingga dengan demikian itulah ia dijuluki Bapak ilmu pengetahuan empiris (Vader der empirische wetenschap). Berlainan dengan Plato yang membagi dunia dua bagian, berdasarkan ideenleer-nya, maka Aristoteles tidak mengakui perbedaan dua dunia ini. Ia hanya mengakui adanya satu dunia yang mempunyai proses. Jadi tidak membedakan dunia cita dan dunia alam, tetapi pikirannya langsung ditujukan kepada kenyataan yang sebenarnya dengan melalui panca indera.[6]
            Menurut Aristoteles negara itu adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan dalam negara akan tercapai bila terciptanya kebahagiaan individu (perseorangan). Sebaliknya bila manusia ingin bahagia maka ia harus bernegara, karena manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya dalam kepentingan hidupnya.[7]
            Aristoteles membedakan dalam tiga bentuk negara, yang kemudian jenis-jenis ini dibedakan lagi menjadi dua berdasarkan sifatnya.
       I.            Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, jadi kekuasaanya itu hanya terpusat pada satu tangan, ini dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu:
1.      Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, dan pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum, jadi ini bersifat baik. Negara ini disebut Monarki.
2.      Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh satu orang saja, tetapi pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan si penguasa itu sendiri, jadi ini
yang bersifat jelek. Negara ini disebut Tyranni.

    II.            Negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang jadi oleh segolongan kecil saja. Disinipun kekuasaannya dipusatkan, tetapi tidak pada satu orang, melainkan pada suatu organ atau badan yang terdiri dari beberapa orang, ini dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu:
1.      Negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, dan sifatnya itu baik, karena pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum. Negara ini disebut Aristokrasi.
2.      Negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang, tetapi sifatnya itu jelek, karena pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan mereka, si pemegang pemerintahan itu sendiri. Negara ini disebut Oligarki.
 III.            Negara di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat, ini yang dimaksud bahwa yang memegang pemerintahan adalah rakyat itu sendiri. Ini dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1.      Negara di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya itu baik, karena memperhatikan kepentingan umum atau rakyat. Negara ini disebut Republik atau Republik Konstitusionil.
2.      Negara di mana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat, tetapi sifat pemerintahannya jelek, karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk kepentingan si pemegang kekuasaan itu saja.
Menurut Aristoteles bentuk negara yang terbaik itu adalah Republik Konstitusionil. Hal ini berlainan dengan pendapat Plato, yang mengatakan bahwa yang terbaik itu adalah Aristokrasi. Menurut Aristoteles tujuan negara adalah kesempurnaan diri manusia sebagai anggota masyarakat, sedand disini yang diutamakan adalah masyarakat, sebab kebahagiaan manusia tergantung dari kebahagiaan masyarakat.[8]
4. Thomas Aquino (1225-1274)
            Tokoh yang penting pada abad ini adalah Thomas van Aquino. Menurut pendapatnya dalam menerangkan kedudukan negara di dalam masyarakat berpangkal pada manusia sebagai makhluk masyarakat (animal social) disamping manusia sebagai makhluk politik (animal politicum). Karena manusia sebagai makhluk masyarakat menurut kodratnya, maka ia tidak bisa hidup dalam suatu pergaulan masyarakat dan senantiasa mencari masyarakat itu.[9]
            Filsafat Thomas Aquinas bersifat finalities, ini berarti bahwa apa yang menjadi tujuannya itu dikemukakan terlebih dahulu, baru kemudian harus diusahakan supaya tujuan itu dapat tercapai.
            Pendapat Thomas Aquino tentang perimbangan kedudukan atau kekuasaan antara negara dan gereja, yaitu dikatakan olehnya bahwa organisasi negara yang dipimpin oleh raja mempunyai kedudukan sama dengan organisasi gereja yang dipimpin oleh Paus. Hanya saja masing-masing organisasi itu mempunyai tugas yang berlainan. Tugas atau kekuasaan negara adalah lapangan keduniawian, sedang tugas atau kekuasaan gereja adalah dalam lapangan kerohanian, keagamaan.
            Menurut Thomas Aquino bentuk pemerintahan yang paling baik adalah Monarki. Karena tujuan negara itu adalah selain member kemungkinan supaya manusia itu dapat mencapai kemulyaan yang abadi, juga supaya manusia itu hidup susila. Hal ini dapat terlaksana apabila terdapat perdamaian di dalam masyarakat dan untuk ini yang terpenting adalah adanya persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu Monarki dipimpin oleh satu orang tunggal, maka Monarki adalah yang paling ideal.
            Thomas Aquino mengadakan perbedaan hukum dalam empat golongan, yaitu:
1.      Hukum abadi atau lex aeterna, ini adalah hukum dari keseluruhannya yang berakar dalam jiwa Tuhan
2.      Hukum Alam. Manusia adalah sebagai makhluk yang berpikir, maka ia merupakan bagian daripada Nya. Ini adalah merupakan hukum alam.
3.      Hukum positif. Ini adalah pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia, yang disesuaikan dengan syarat-syarat khusus yang diperlukan untuk mengatur soal-soal keduniawian di dalam negara.
4.      Hukum Tuhan. Ini adalah hukum yang mengisi kekurangan-kekurangan daripada pikiran manusia dan memimpin manusia dengan wahyu-wahyunya kea rah kesucian untuk hidup di alam baka dan ini dengan cara yang tidak mungkin salah. Wahyu-wahyu inilah yang akhirnya terhimpun dalam kitab-kitab suci.
Tentang keadilan, Thomas Aquinas mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan, yaitu kemauan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Disamping itu orang harus juga mengusahakan kepatutan, seperti yang telah diajarkan oleh Aristoteles. Undang-undang tertulis dapat dianggap sebagai hukum dan keadilan dan yang mendapat kekuasaan dari hukum alam.
Ajaran Thomas Aquinas merupakan puncak dari pemikiran pada abad pertengahan dan berada pada titik balik dari pertumbuhan kebudayaan berikutnya. Sementara itu orang mulai kelihatan melepaskan pikiran yang teokratis, ini terjadi sebagai akibat perubahan social dan perkembangan aliran filsafat yang nominalistis.[10]




5. F. Oppenheimer
            Di dalam bukunya Die Sache, mengatakan bahwa negara itu adalah merupakan suatu alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat, yang oleh golongan yang kuat tadi dilaksanakan kepada golongan yang lemah, dengan maksud untuk menyusun dan membela kekuasaan dari golongan yang kuat tadi, terhadap orang-orang baik dari dalam maupun luar, terutama dalam sistem ekonomi. Sedangkan tujuan terakhir dari semuanya adalah penghisapan ekonomis terhadap golongan yang lemah tadi oleh golongan yang kuat.[11]
6. R. Kranenburg
            Mengenai pendapatnya tentang negara Kranenburg mengatakan bahwa negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebtu bangsa. Jadi menurut Kranenburg terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara dari kepentingan kelompok tersebut. Maka disini yang primer atau yang utama dan yang terpenting harus ada adalah kelompok manusianya. Sedangkan negara itu adalah sekunder, artinya adanya itu menyusul kemudian dam adanya itu hanya dapat kalau berdasarkan atas suatu kelompok manusia yang disebut bangsa.
            Pendapat Kranenburg tersebut di atas kiranya didasarkan atau dikuatkan dengan alas- an-alasan  bahwa pada zaman modern ini terdapat formasi-formasi kerjasama internasional, atau antara bangsa-bangsa. Misalnya Perserikatan Bangsa-bangsa. Di sini yang menjadi anggota nya adalah negara-negara. Tetapi mengapa disebut Perserikatan Bangsa-bangsa? Bukan United States, Melainkan United Nations. Hal yang demikian menurut Kranenburg menunjukkan bahwa menurut pandangan modern, bangsa itu menjadi dasar dari negara. Jadi bangsalah yang primer, yang harus terlebih dahulu, baru kemudian menyusul adanya negara, jadi negara sifatnya sekunder.[12]
            Krenenburg beranggapan pengelompokan manusia itu didasarkan atas empat macam ukuran yaitu:
a.       Pengelompokan berada pada suatu tempat tertentu dan teratur
b.      Pengelompokan pada suatu tempat tertentu tetapi tidak teratur
c.       Pengelompokan tidak berada pada suatu tempat tetapi teratur
d.      Pengelompokan tidak berada pada suatu dan tidak teratur.[13]
7. Aliran Fasisme
            Kira-kira pada tahun 1922-1944 sebelum Perang Dunia Kedua selesai, di Italia terdapat suatu paham yang berpengaruh dan disebut Fasisme. Ajarannya pertama-tama menolak adanya negara hukum yang demokratis di mana dalam negara demokratis diakui adanya hak-hak kemerdekaan manusia. Sebagai kelanjutan dari paham ini ialah tidak diakuinya pembagian kekuasaan yang hendak mencegah adanya tidakan-tindakan sewenang-wenang. Pembagian kekuasaan dianggap sebagai sekunder, kedaulatan tertinggi terletak pada negara dan tidak diakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari negara. Tidak boleh ada pendapat yang bertentangan dengan negara dan semuanya adalah untuk kepentingan negara. Jika semua kekuasaan dipusatkan pada negara maka yang memegang kekuasaan itu adalah Duce pemimpin atas Capodel Governo. Dalam negara hanya terdapat satu partai sebagai elit dan partai-partai lainnya tidak diakui. Negara adalah satu dan sama. Karena sifat-sifatnya ini maka negara fasis mempunyai ciri otoriter, totaliter, dan korporatif. Jadi dalam negara fasis orang tidak mengenal negara hukum yang dapat menjamin kebebasan hukum dan kebebasan politik daripada warganegaranya.
            Kebebasan dalam hukum dan kebebasan dalam politik berarti mengakui adanya kebebasan individu-individu, sedangkan individu dalam negara Fasis tidak ada artinya. Individu merupakan bagian daripada korporasi dan korporasi-korporasi itu adalah merupakan bangsa Italia.
            Bangsa Italia sebagai suatu kesatuan moral, politik, dan ekonomi kini menjelma menjadi negara. Kepribadian tertinggi terletak pada negara dan tidak lagi pada bangsa Italia, sehingga bukan Italia yang membentuk negara melainkan negara Italia yang membentuk bangsanya. Negara Fasis meripakan negara yang paling berkuasa dan menentukan segala kekuatan baik dalam bidang moral maupun dalam bidang intelektual dari individu-individu. Tugas negara tidak hanya terbatas pada  bidang tata tertib saja seperti halnya  dalam negara liberal dan juga tidak hanya merupakan alat untuk membatasi kebebasan individu saja, lebih daripada itu negara mengatur seluruh kehidupan manusia dengan disiplin yang keras mempengaruhi kemauan serta pikirannya. Negara merupakan pusat inspirasi yang mendalam bagi setiap bangsa Italia dan menanamkan kemungkinan dari tindakannya dalam bidangnya masing-masing baik ia adalah seorang sarjana, seniman atau pedagang.
            Pengerahan setiap warganegaranya adalah untuk menaklukan negara-negara disekitar Italia dan kemudian hendak membentuk suatu Imperium dunia. Hal seperti ini telah disimpan dalam dada setiap orang Italia. Inilah yang menjadi tujuan akhir dari negara Fasis. Oleh karena itu tujuannya tidak objektif maka dilihat dari segi Ilmu Negara ia tidak mempunyai arti sebagai Ilmiah.[14]
8. Liberalisme
            Aliran ini sudah lama timbul sebagai reaksi dari paham Mercantilisme yang hidup pada abad 16, 17, 18 dan 19 di negara-negara Barat yang melaksanakan plitik ekonomi berdasarkan sistem perdagangan yang menguntungkan. Negara yang menganut aliran ini hendak mengusahakan agar ekspor lebih besar dari impor sehingga pemasukan uang lebih banyak daripada pengeluarannya. Pada awal abad ke 17 Menteri Colbert dari Perancis melaksanakan politik ekonomi dengan sistem mercantilisme guna memperoleh emas dan perak terutama dari pihak Spanyol yang pada waktu itu menjadi negara yang sangat kaya karena banyaknya jajahan di Amerika Selatan.
            Paham Liberalisme ditujukan kepada kebesaran dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi terutama dimaksudkan sebagai kemerdekaan dan kebebasan yang leluasa dalam mencapai kemakmuran rakyatnya. Untuk mencapai ini negara dilarang ikut campur tangan jika terjadi perselisihan di antara rakyatnya satu sama lain di dalam penyelenggaraan kemakmurannya masing-masing. Dalam lapangan ekonomi paham ini terkenal seperti yang diajarkan oleh Adam Smith. Dengan adanya aliran liberalism ini maka tampak dengan jelas perbedaan antara negara dengan masyarakat atau antara penguasa dengan yang dikuasai atau antara pemerintah dengan rakyatnya.
            Paham ini mula-mula dikemukakan oleh Emmanuel Kant yang menghendaki kebebasan rakyat dari campur tangan pemerintah dengan mengemukakan unsur-unsur yang penting dalam negara hukum seperti hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan negara. Dari ajaran Emmanuel Kant ini ternyata bahwa negara hukum tidak dapat dipertahankan lagi tanpa campur tangan pemerintah terhadap kemakmuran rakyatnya. Pemerintah tidak bisa tinggal diam walaupun campur tangannya terhadap kepentingan rakyat harus dibatasi dengan undang-undang. Yang sangat menarik perhatian dengan filsafatnya, paham liberalisme ini membiarkan setiap individu mengembangkan bakatnya masing-masing, tanpa paksaan, tekanan dan lain-lain. Dengan filsafat hidup ini mereka beranggapan bahwa kebahagiaan hidupnya akan tercapai Dari sini mulai lahir pengertian free fight competition yang membawakan bermacam-macam akses di dalam masyarakat. Akses itu antara lain perlombaan dalam mendapat keuntungan ekonomi dan sebagai akibatnya timbul segolongan kecil manusia yang memiliki modal di dalam masyarakat dan menguasai golongan yang terbanyak dalam masyarakat yang hidupnya tergantung mereka[15]
9. Nasional Sosialisme
            Dalam waktu yang bersamaan denga Fasisme di Italia, paham ini mempunya pengaruh yang besar sekali di Jerman sebelum Perang Dunia II. Kalau menurut paha Fasisme, negara adalah yang paling dan yang paling berkuasa maka menurut paham Nasiona Sosialisme Jerman adalah Fuhrer, Reichstag tidak mempunya arti sama sekali dan hanya sekali ia berkumpul kalau diperlukan oleh Fuhrer untuk memberitahukan apa yang sudah dan apa yang akan dijalankan olehnya. Paham Nasional Sosialisme itu dihidupkan di atas mytos bangsa Jerman yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di dunia baik mengenai ciri-ciri jasmaniahnya maupun ciri-ciri rohaniahnya. Melalui ajarannya mengenai ras, para sarjana Jerman hendak membuktikan bahwa ia adalah keturunan dari dewa-dewa yang disebut sebagai das Herrnvolk yang mempunyai bakat-bakat yang lebih tinggi dari bangsa-bangsa lainnya di dunia. Adalah suatu panggilan dari bangsa Jerman untuk membentuk negara Germania yang besar yang hendak menyamai Imperium Romawi dahulu. Anehnya kalau bangsa Romawi dahulu dikalahkan oleh Bangsa Germania maka sekarang bangsa Germania ingin meniru bangsa Romawi maka sekarang bangsa Germania ingin meniru bangsa Romawi. Juga seperti halnya dengan pihak Fasisme, paham ini sesudah Perang Dunia II selesai tidak mempunyai tempat yang subur sebagai ilmiah.[16]
           

           



[1] Soekirno, SH. 2004. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 98
2 Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 12
[3] Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara.  Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 99.
[4] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 16-17.
[5] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 22-23.

[6] Basah, Sjachran. 1997 . Ilmu Negara.  Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hal. 112-113
[7] Prof.H. Abu Daud, SH, 2006,  Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 22
[8] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal.26-29.
[9] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 18
[10] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 58-63
[11] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 133
[12] Soekirno, SH, 2004.  Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal. 142
[13] Prof.H. Abu Daud, SH, 2006,  Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 24
[14] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 27-29
[15] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 30-31
[16] Moh. Kusnardi, SH. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hal. 29-30